Lihat ke Halaman Asli

I Ketut Sudarsana

Abdi Negara pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

UPI dan Kisah Awal Perjuangan

Diperbarui: 19 April 2020   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Petang itu saya pacu mobil dinas DK 1902 dengan cepat, menyelusuri jalan ratna menuju sebuah hotel di Kuta tempat menginap rombongan Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Sepanjang perjalanan itu kami berempat terus membahas rencana kuliah S3. Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) dengan penuh semangat meyakinkan aku bahwa ini adalah kesempatan emas. Tidak ketinggalan juga Bapak Prof. I Nengah Duija memberikan rasionalisasi mengapa harus kuliah S3 sekarang. 

Sesungguhnya pikiranku masih goyah setiap mengingat istriku yang baru saja melahirkan anak kembar. Belum lagi putri pertamaku yang baru berumur setahun. Sahabatku yang lain Bapak IGNA Wijaya Mahardika malah sudah memastikan tidak akan kuliah tahun itu 2011. Jadilah aku menghitung belokan jalan untuk mencari petunjuk Ilahi. Sampai akhirnya mobil kami melewati hotel dan harus memutar kembali dalam suasana macet, aku masih ragu.

Di hotel itu pertama kali saya diperkenalkan pada Ibu Dr. Ruhaliah dan Bapak Dr. Ugi Suprayogi yang saat itu menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Luar Sekolah SPs UPI. Masa pendaftaran sebenarnya sudah lewat namun kebijakan perpanjangan khusus pada kami itu hadir karena mereka sedang di Bali. Ku serahkan seluruh persyaratannya dengan setengah harapan, lulus atau tidak rasaku tetap beruntung.

Pengumuman tanggal untuk mengikuti ujian calon mahasiswa baru akhirnya keluar. Di pagi hari nan suntuk Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) sudah menjemput kerumah untuk bersama-sama ke Bandung. Penerbangan langsung Bali-Bandung waktu itu belum ada, sehingga kami harus mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dan lanjut menggunakan bus ke Bandung. 

Kami turun di depo bis tersebut (seputaran Jalan Jendral Gatot Subroto), mencari taxi (maklum belum ada OJOL) namun langsung kena tipu. Oleh sopir diberitahu jika melalui jalan biasa akan sangat macet dan lama sehingga disarankan untuk melalui jalan tol Pasteur. Karena tidak tahu apa-apa, kami mengiyakan saja. Baru setelah mengetahui medan Bandung, saya menyadari bahwa sang sopir telah menipu kami, harapannya mungkin untuk menambah biaya sehingga diajak memutar sangat jauh.

Waktu test pun tiba, saya dan Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) duduk bersebelahan, namun saat menjawab soal serasa kami bermusuhan. Masing-masing percaya diri bahwa jawabannya benar. Padahal keraguan saya sempat muncul, ketika melirik jawaban Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) kok beda dengan jawaban saya. Setelah ujian saya mengontak Ibu Dr. Ruhaliah, untuk membantu agar kami berdua biar lulus (maaf ini rahasia ya).

Sepulang dari Bandung saya disibukkan oleh pelaksanaan akreditasi Program Studi Pendidikan Agama Hindu, hamper setiap hari bekerja di kampus Bangli. Bahkan ketika proses visitasi oleh assessor saya pulang subuh ke Denpasar (dan untuk pertama kali istri menutup pintu dan tidak mau membuka sebelum akhirnya saya putuskan untuk mendobrak). Untuk hal ini semoga istri saya tidak baca hehehe.

dokpri

Pengumuman kelulusan pun tayang dalam website UPI dan disana hanya nama saya saja yang lulus. Mendadak dunia terasa gelap. Dalam pikiran saya bagaimana mungkin saya harus menjalani kehidupan di Bandung sendirian. Sempat saya diskusi dengan istri dan kolega untuk mengurungkan niat kuliah tahun tersebut. Namun istri dan kolega menguatkan agar tetap menjalaninya. Apalagi guru saya Br. Indra Udayana (sekarang Ida Rsi Putra Manuaba) sangat mendukung baik dari sisi moral maupun material. Bahkan beliau telah mencarikan rumah tempat tinggal selama di Bandung.

Bertepatan dengan pelaksanaan Temu Karya Ilmiah PTKH di Jakarta tahun 2011 (kebetulan jadi peserta lomba) saya meminta izin untuk langsung ke Bandung sesampainya di Jakarta untuk proses pelaksanaan pendaftaran kembali dan proses lainnya.

Bulan Agustus 2011 acara matrikulasi selama seminggu tiba, kali ini saya harus berangkat sendirian ke Bandung. Hati yang sunyi mulai menyergap. Tiba di Bandung, saya langsung menuju rumah Bapak Yuddy yang kebetulan berada diseberang kampus. Saya tiba sekitar jam 18.30 wib, dalam keremangan rumah sepi tanpa penghuni itu terlihat besar dan berlantai 2. Oleh tetangga yang dititipkan kunci saya diberitahu diperkenankan untuk menempati kamar dilantai 2. Pertama masuk, rumah hati saya sudah ciut, apalagi hanya sendirian saja.

Malam pertama itu saya mencoba memberanikan diri, sampai dijam 1 subuh terdengar air mengalir dikamar mandi bawah, suara pancuran airnya lumayan keras. Dalam hati saya heran kenapa keran air terbuka. Karena takut nanti kebanjiran dilantai bawah, saya memberanikan diri untuk turun dan masuk kekamar mandi. Ternyata tidak ada apa-apa. Keran air sudah tertutup. Seluruh bulu pada tubuh ini serasa mulai berdiri dan saya pun bergegas naik dan masuk kekamar lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline