Lihat ke Halaman Asli

1 Suro: Penghormatan Akulturasi Budaya dan Agama

Diperbarui: 1 Agustus 2022   01:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerbau Bule Saat Kirab Malam 1 Suro Keraton Surakarta.(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA)

Sejarah selalu mengajarkan kita bahwa pentingnya untuk membangun persatuan dan menghormati hak dalam kesetaraan. Perang Bharatayuda yang telah berlangsung lebih dari lima ribu tahun lalu karena perebutan kekuasaan antar keluarga yang merasa sebagai pewaris yang berhak tak terelakkan telah menghancurkan peradaban.

Kemunculan peradaban di belahan bumi lain tidak serta merta menjadikan perang itu terhenti. Ekpansi kekuasaan sebagai simbul kekuatan atas nama "mewakili Tuhan" didunia berlangsung silih berganti baik di era kuno maupun era abad pertengahan.

Perluasan kekuasaan dan pengaruh tejadi bahkan tercatat luasnya melampaui antar benua. Macedonia/Yunani Kuno, Romawi Kuno hingga jatuhnya Konstantinopel. Belum lagi berikutnya kekuasaan atas simbul agama Hindu, Kristen dan Islam.

Lalu kemudian terjadi era kebangkitan Eropa yang melahirkan kolonialisme dan imperialisme, bahkan perang masih kita saksikan di era modern saat ini antara Rusia - Ukraina yang nyaris menyeret negara-negara kedalam Perang Dunia ketiga.

Dwipantara pada awal Masehi, peradaban awalnya dibangun oleh pengaruh Hindu yang dibuktikan dengan Prasasti tinggalan Raja Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur dan Raja Purnawarman di Jawa Barat. Butuh waktu ribuan tahun kemudian Nusantara dipersatukan oleh Majapahit.

Membangun harmoni dengan menyatukan keberagaman (Bhinneka) sejatinya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat (Nusantara) jauh sebelum lahirnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293.

Bhinneka Tunggal Ika bukanlah pemikiran autentik Mpu Tantular yang menulis Kitab Sutasoma era Majapahit. Namun konsep ini sejatinya telah diterapkan sejak era Mataram Kuno yang teraktualisasi dengan bersatunya paham Hindu - Buddha representasi Dinasti Sanjaya dengan Dinasti Syailendra.

Toleransi kehidupan dalam perbedaan ini diawali pada abad ke - 8 melalui pernikahan beda agama antara Rakai Pikatan keturunan Dinasti Sanjaya dengan Pramodawardhani keturunan Dinasti Syailendra.

Saat berkuasa atas Mataram Kuno merekalah yang "melembagakan" kehidupan toleransi dalam perbedaan dengan banyak mewariskan bangunan candi bercorak Hindu dan Buddha diantaranya seperti Prambanan dan Borobudur.

Belajar dari sejarah Tanah Jawa bahwa kejatuhan Mataram Kuno karena digempur Sriwijaya dan Sriwijaya dihancurkan Kerajaan Chola dari India kemudian Majapahit hancur karena perebutan kekuasaan, lalu kehancuran Demak dan Pajang menjadikan Sultan Agung penguasa Mataram Islam (untuk membedakan dengan Mataram Kuno Hindu) mencari format dalam mengelola akulturasi ditengah sisa pengaruh Hindu dalam kekuasaan Mataram Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline