Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Kaum Golputers

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jabar kembali semarak dengan gempita pemilukada. Kali ini pemilihan gubernur. Acara ramai yang terjadi berkala, dan karena saking seringnya (ada pilwalkot, pilbup, pilgub), saya pikir, masyarakat sampai jenuh, dan sebagian tidak lagi menganggapnya penting.

Selalu ada golongan pendukung kandidat kepala daerah yang tengah berlaga yang saling mengunggulkan jagoannya. Mulai dari cara yang elegan, biasa saja, hingga cara yang barbar tak beretika, baik secara tulisan ataupun aksi fisik. Begitu pun di dunia maya. Riuh rendah, sangat kental terasa. Dari yang isi tulisannya baik, sampai , tulisan yang buruk. Ada juga yang bijak, dan sok bijak.  Bukankah sungguh tidak bijak, orang yang ingin disebut bijak. Dan satu lagi, golongan yang mengaku putih, alias golput. Mengaku golput alias netral, tapi rajinnya minta ampun dalam menyindir, dan merendahkan kandidat tertentu (kelihatan banget gak netralnya hehe..karena salah satu kandidat aja yang rajin dia “serang”…)

Bebas. Tentu saja. Tingkah laku (termasuk kata2/tulisan) adalah cerminan pribadi seseorang. Golput, golhij, golmer, golbir, golkun…itu adalah pilihan. Dan setiap orang yang dewasa adalah orang yang mampu menahan diri dari sikap kekanakkan merendahkan dan mencela orang lain, serta  bisa menghargai pilihan orang lain.

Namun bisa kita bayangkan, bila semua orang golput, dan memilih untuk berlepas tangan dari urusan pilkada ini. Lalu siapa yang akan mengurus kota tempat kita tinggal? Ayolah, ini bukan hanya melulu masalah kekuasaan.  Tempat hidup ini penuh dengan hal yang harus diurus. Mulai dari pendidikan anak2, kesehatan, kebersihan, perekonomian, tata ruang, lalu lintas, kebersihan, kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) masyarakat, , berbagai kriminalitas, dan lain sebagainya. Betapa banyaknya hal yag memang harus di-organize dengan apik, dan banyak hal itu yang takkan bisa kita lakukan sendiri semua. Jadi…memang harus ada pemimpin di negara ini, dan di wilayah yang kita tinggali.

Banyak hal yang membuat kita kecewa, tentu saja. Masalah jalan berlubang yang tak kunjung diperbaiki. Masalah pendidikan yang penegakkan aturannya masih belum memuaskan semua pihak. Pelayanan kesehatan yang masih jauh dari menyejahterakan rakyat. Pelaksanaan UMR yang belum terlaksanakan sepenuhnya (termasuk di rumah kita mungkin , bagi yang ada pembantu di rumah…semoga kita sudah bisa memberi, minimal memenuhi standar umr-lah). Penegakkan hukum yang masih jauh panggang dari api. Korupsi yang kerap kita saksikan. Pelaksanaan hukum yang tidak adil. Harga sembako yang mahal. Lalu lintas yang semrawut, dan masih ada banyak lagi. Bisa jadi itu semua benar. Dan mungkin saking banyaknya keluhan kita (yang memang benar) kita jadi tidak bisa melihat, ketika pimpinan di daerah tempat kita tinggal telah melakukan perbaikan kecil.

Tetapi…bisakah kita berusaha melihat dari sudut yang berbeda. Andaikan kita menjadi pemimpin, betapa sulitnya kita mengurai benang yang terlanjur kusut ketika kita terima sebagai warisan. Kekusutan gulungan bola ini terlah terjalin sejak awal benang ini dipintal, lalu kita dituntut untuk mengurai benang ini tatkala gulungan ini telah sebesar Himalaya. Kita sebagai pemimpin tentu ingin sekali mengurainya, karena melihat betapa banyak rakyat yang terbelit dan tercekik  oleh benang yang terlanjur kusut ini, namun alangkah sukarnya……pemimpin butuh bantuan, untuk melepas kekusutan dan merapikannya, namun bisa diyangkan jika san pemimpin ini berdiri memimpin pasukan (yang juga warisan pemimpin terdahulu) yang kebanyakan serdadunya telah terbiasa menggulung benang sembarangan….tentu ini bukan masalah yang mudah. Sama sekali tidak mudah.

Mungkin terlihat pemimpin ini tidak melakukan apa2, namun minimal, ia telah berusaha dan memiliki keinginan untuk memperbaikinya dengan terjun langsung dalam menarik dan mengurai benang. Ketimbang kita yang hanya sibuk mencela, mengomentari dan terus-menerus memberi penilaian negative. Dia, sang pemimpin yang kita komentari, telah melakukan aksi dan usaha, meski kita nilai kecil atau gagal, dalam mengurus daerah tempat kita tinggal. Sedangkan kita? Apakah kesibukan kita dalam membari komentar pedas dan  meremehkan usahanya , adalah sumbangan kita dalam memperbaiki hal2 yang kita anggap kacau? Apa yang sudah kita lakukan?

Benar, bahwa tidak sedikit dari para pemimpin daerah yang awalnya terlihat idealis, ternyata setelah ia menjadi pemimpin, ia terperosok pada tindakan tidak etis, seperti korupsi, terlibat suap, ataupun skandal dengan wanita. Fahamilah, tidak ada seorang pun yang steril dari godaan setan. Tugas kita, sebagai masyarakat, untuk mengingatkan orang yang memimpin kita, tatkala kita tahu ia melakukan kesalahan. Dan, kita sesungguhnya (karena belum pernah duduk di kursi pimpinan daerah) belum tahu, sebesar apa godaannya, setinggi apa level godaannya. Tentu dibutuhkan kekuatan yang luar biasa untuk tetap tegak konsisten agar selalu on the track. Mencela saja teramat tidak cukup, lakukanlah hal yang baik, dengan cara mengingatkanya. Mungkin hal itu bisa menjadi salah satu andil kita dalam membangun bangsa ini. Bukan hanya mendiskusikan dan memperdebatkan pepesan kosong….mengolok-olok dan menggunjingkannya tanpa manfaat, selain kepuasan emosional. Kalau merasa benar, cobalah produktif; sampaikan saran, ingatkan pemimpin tersebut agar ia kembali ke jalan yang benar. Tentu melalui media2 yang ada.

Hal tersebut mirip dengan analogi berikut: Ketika kita melihat tetangga kita bersikap buruk, kita panggil anaknya, “Heh, bilangin ya sama bapak kamu…jadi orang yang bener! Jangan parker sembarangan, pake nabrak mobil orang lagi…sombong!!” Aneh kan? Benar2 sikap kekanakkan yang tidak gentle. Namun jika seorang yang dewasa, tentu ia akan datang ke rumah sang tetangga, bertemu langsung dengan pemilik rumah, lalu, bertanya atau berkata meminta pertanggung jawaban dengan cara yang baik.

Benar, tidak ada kandidat yang ideal. Sadarilah kehidupan ini memang tidak ideal kawan. Usaha kita dalam menggapai hal ideallah yang akan mendapat apresiasi dariNya. Usaha kita menegakkan hal yang ideallah yang akan menjadi ladang pahala kita. Dan , tentu saja, godaannya luar biasa. Tentu Hal ideal, kondisi ideal, tidak akan sekonyong-koyong tercipta dari debat kusir dan obrolan menghinakan orang2 yang berusaha mewujudkannya.

Jika ada orang yang bersedia memikul tanggung jawab berat ini, bantulah ia dengan bekerja bersamanya, mengingatkannya agar ia tidak menyimpang dari cita2 semula, atau minimal mendoakan  agar dia berhasil memimpin dengan baik dan benar, kesejahteraan terwujud dan kita terhindar dari kebiasaan mengolok2,…Siapapun pemimpin kita.

Jadi bersyukurlah bila masih ada orang yang bersedia menjadi kandidat dalam laga pilkada ini. Karena jika semua tidak mau. Tidak mau memilih ataupun dipilih….apa jadinya kota/negara ini…dan bagaimana kehidupan anak2 kita kelak…..

Di dunia ini tidak ada yang sempurna, pun tak ada yang sia-sia. Soekarno yang begitu dielu-elukan  memiliki sederet catatan miring, Soeharto yang begitu dibenci  pun memiliki jasa yang tak sedikit. Gusdur, Megawati, Habibie, Sby…termasuk para pemimpin daerah. Masing-masing punya peran dan jasa. Masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemimpin yang tiran, minimal, menumbuhkan sebagian masyarakat yang berjiwa kuat dan berkeinginan keras. Pemimpin yang lembek, minimal menghasilkan sebagian masyarakat yang kritis .  Sungguh tak ada yang sempurna, dan bukankah kini, dunia tengah berjalan semakin menjauhi kondisi ideal, jadi alangkah tidak bijak jika kita menuntut sosok ideal, sedang kita sendiri pun jauh dari ideal.

Golput, silakan....namun jangan berharap semua kita menjadi kaum goputers.  Kecuali kita ingin membiarkan negara ini menjadi wilayah tanpa negara, tanpa nama, tanpa identitas, dan tanpa pengakuan.....jika itu terjadi...siapakah kita?

Nahh...pusing kan? saya juga pusing hehe...

the last, semoga Allah memilih seorang pemimpin yang siap diingatkan dan siap memperbaiki diri, keluarga, dan lingkungannya dan sadar akan tanggung jawabnya...

Peaceeeee.....................!  ^_^

Cilandak, 22 feb 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline