Lihat ke Halaman Asli

Ikbar Raihan Rasyiq

Criminology Student at University of Indonesia

Memahami Residivis Kasus Terorisme Kembali Melakukan Aksinya

Diperbarui: 17 Desember 2022   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Situasi di TKP setelah ledakan bom terjadi/iNews.id)

Serangan teror menggunakan cara ledakan bom bunuh diri kembali terjadi di Indonesia. Kali ini Polsek Astana Anyar di Kota Bandung menjadi target serangan yang terjadi pada hari Rabu (07/12) saat para anggota Polsek sedang melaksanakan apel pagi. Akibatnya, 11 orang menjadi korban, satu diantaranya meninggal dunia yang merupakan anggota Polsek Astana Anyar atas nama Aipda Sofyan.

Dari hasil olah TKP, identitas dari pelaku akhirnya diketahui. Polisi mengungkapkan bahwa pelaku bernama Agus Sujatno (34) berasal dari Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Jawa Barat. Namun, pelaku tinggal bersama istrinya di rumah kos wilayah Desa Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Barang bukti yang ditemukan di lapangan berupa sebuah sepeda motor dengan pesan yang tertempel di bagian depan motor yang ditujukan terhadap KUHP. Fakta lain yang terungkap bahwa pelaku merupakan residivis atas kasus terorisme bom Cicendo, Kota Bandung yang terjadi pada tahun 2017. Pelaku menjalani masa pidananya selama empat tahun di Nusakambangan dan dinyatakan bebas di tahun 2021.

Bagaimana bisa seseorang yang telah dihukum atas kejahatan terorisme kembali melakukan serangan teror? Apa yang sebenarya menjadi target mereka? Dalam tulisan ini akan sedikit mengungkap tentang target utama dari setiap serangan teror yang dilakukan oleh para pelaku dan mengapa seorang residivis kasus terorisme kembali melakukan aksinya dari sudut pemahaman teori Desistance from Terrorism (Desifter).

Serangan yang dilakukan oleh kelompok teror sebenarnya direncanakan kepada musuh jauh yang mereka asosiasikan terhadap negara Amerika Serikat dan Sekutunya. Akan tetapi, target sulit untuk dicapai karena banyaknya rintangan dan target melakukan penguatan pengamanan. Akhirnya, sasaran pun berubah ke arah yang dianggap lebih mudah untuk dijangkau dengan menargetkan kepada siapapun yang berani menghalangi mereka dalam melakukan aksi teror. Polri merupakan sasaran yang kerap mereka targetkan karena menjadi institusi terdepan dalam menghadapi berbagai aksi teror yang dilakukan. Total di tahun 2021 saja Polri menangkap 371 orang tersangka atas kasus tindak pidana terorisme. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa Polri benar-benar menjadi penghalang bagi kelompok teror.

Terkait dengan pengulangan kejahatan yang dilakukan oleh seorang pelaku yang telah dihukum, memang idealnya sang pelaku kejahatan akan mengalami efek jera dan memutuskan untuk mengubah perilaku buruknya. Namun, pada beberapa kasus kejahatan hal itu justru tidak terjadi. Terdapat pelaku kejahatan yang kembali mengulangi kejahatan yang sama. 

Pada konteks kejahatan terorisme yang sering dilandaskan oleh ideologis, selama berada di Lapas mereka menganggap bahwa hukuman yang mereka jalani merupakan bagian dari perjuangan "suci"-nya. Memang hal tersebut sulit untuk diatasi mengingat regulasi pemidanaan pelaku teror dalam UU No. 5 tahun 2018 hanya mengatur berdasarkan perbuatannya, bukan pada ideologi pro kekerasannya. Hal ini lah yang membuat narapidana terorisme ketika selesai menjalani masa hukumannya kemudian kembali ke masyarakat, mereka masih memiliki potensi untuk melakukan kejahatan yang sama akibat ideologis ekstrimisme berbasis kekerasa di dalam dirinya masih begitu kuat. Terlihat pada laporan yang dirilis tahun 2020 oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sejak tahun 2002 sampai 2020 terdapat 94 orang residivis kasus terorisme dari 825 narapidana terorisme yang ada.

Secara umum, deradikalisasi dan disengagement merupakan dua pendekatan yang digunakan untuk menghentikan seseorang dari aktivitas terorisme. Deradikalisasi memiliki fokus untuk mengubah pemikiran narapidana terorisme, sedangkan disengagement berfokus pada social setting yang berimplikasi pada perbuatan perilaku narapidana terorime. Akan tetapi, terdapat pemikiran baru yang dinamakan Desistence from Terrorism (Desifter) atau diartikan sebagai Desistensi dari Terorisme yang mengkaji tentang bagaimana seseorang bisa lepas dari jerat teror dan -ismenya.

Desistensi biasa dipahami dalam kriminologi sebagai tahap di mana seorang pelaku kejahatan dapat berhenti dari perbuatan kejahatannya. Kemudian desistensi dibagi menjadi dua, yaitu desistensi primer melihat pelaku kejahatan berhenti dengan sifat sementara, dan desistensi sekunder melihat pelaku kejahatan sebagai sosok bukan sebagai pelaku kejahatan dengan proses yang panjang dan sifatnya tetap bukan dalam waktu yang singkat dan memunculkan peluang untuk berubah lagi.

Dari pemahaman awal tentang desistensi, dapat dikatakan Desifter menjadi kajian tentang potensi seseorang untuk berhenti menjadi pelaku teror dengan melihat pada multi-faktor. Seluruh faktor terbagi menjadi tiga kanal, kanal pertama memuat parameter tentang kebutuhan dasar (needs), narasi dan jaringannya (networks). 

Kanal kedua merupakan kanal inti yang terdiri atas keluarga, introspeksi diri, kedewasaan, aktivitas ekonomi dan efek jera. Sementara kanal ketiga atau terakhir terdiri atas kepercayaan terhadap hukum, integrasi, relasi sosial dan peluang-peluang situasional. Saat ketiga kanal tersebut belum bisa tersentuh dengan baik, maka besar kemungkinan pelaku akan kembali melakukan aksi teror. Cepat atau lambat, hanyak persoalan waktu dan peristiwa-katalis yang akan membangkitkan semangat aksi menerornya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline