Lihat ke Halaman Asli

Ini Ceritaku tentang Culture Shock, Bagaimana Cerita Kamu?

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya saya belum ngerti apa itu gegar budaya, nah setelah saya cari ternyata ini dia pengertian gegar budaya/ Culture shocking --àGegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Menurut dari yang saya baca http://luciatriedyana.wordpress.com/2009/04/23/culture-shock/

Sebelum saya meceritakan pengalaman saya mengenai gegar budaya, ada baiknya bila saya memperkenalkan siapa saya terlebih dahulu. Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang insayaallah bisa jadi panutan bagi adik-adik saya aminn. Saya tidak terlalu ingat masa kecil di Jambi karena saat umur tiga tahun pindah ke Riau.Selama tiga tahun di Jambi saya tinggal di unit 5, Sungai bahar, kemudian pindah ke Riau. Jadi ketika pindah dari Jambi ke Riau saya tidak mengalami yang namanya Culture Shocking, karena saya belum mengerti dengan budaya atau kebiasaan di Jambi.

Saya tinggal di Riau sekitar kurang lebih 15 tahun, di desa Buatan Baru, kecamatan Kerinci Kanan, kabupaten Siak. Saya tinggal di lingkungan perkebunan kelapa sawit, saya tinggal di Desa Buatan Baru, kecamatan Kerinci Kanan, kabupaten Siak. Kebetulan lingkungan saya tinggal kebanyakan dari suku Jawa. Di Riau ketika TK sampai SMP saya tidak mengalami Culture Shocking dengan tetangga lingkungan saya maupun dilingkugan sekolah, karena mereka banyak yang suku jawa seperti saya. Saat saya melanjutkan pendidikan di SMA, dan saya bersekolah di kota kecamatan saya baru mengalami yang namanya Culture Shocking. Dulu saya ngekos waktu SMA karena lumayan jauh dari rumah ke sekolah dan jalan yang dilalui sangat jelek dengan dikanan-kiri jalan hanya kebun sawit semua.Nah, di lingkungan sekolah inilah ketika berkomunikasi saya mengalami perbedaan dalam makna dari sebuah kata. Di Riau bahasa daerahnya adalah bahasa melayu, dan masyarakat lingkungan yang saya tinggal juga warga sekolah menggunakan bahasa melayu. Seperti contoh dalam peryataan orang melayu “menyanyah kerjo budak ko” awalnya saya mengira kasar banget mereka ngomongnya sama anak yang lebih kecil, masa’ anak kecil dibilang pembantu. Tapi ternyata mereka menggunkan istilah budak untuk menyebutkan anak kecil, bukan pembantu. Dan akhrinya sedikit demi sedikit saya mengerti bahasa mereka dan kebudayaan mereka.

Ketika saya sudah nyaman dengan Riau dan semuanya, saya harus pindah ke Jawa, menyusul keluarga saya yang sudah duluan di Jawa yah, demi cita-cita yang harus diperjuangkan. Sebelum kuliah di UIN saya sempat berhenti setahun dari dunia akademik. Selama setahun tersebut saya mengalami keadaan yang sangat membosankan dalam hidup saya. Kegiatan saya waktu itu hanya ikut bimbel dan di rumah saja, mau ngelamar kerja ga’ boleh sama orang tua.

Awalnya saya ingin melanjutkan kuliah di kedokteran, Tapi apa mau dikata ternyata sekarang saya kuliah dijurusan yang sangat melenceng dari dunia kesehatan. Saya bersyukur karena saya belajar ilmu sosial lebih dalam dari yang sudah saya pelajari di SMP dan terakhir belajar IPS di SMA kelas satu. Dengan belajar ilmu ini saya berharap bisa lebih baik dalam bersosial dengan orang lain, karena menurut saya intinya hidup yang berkualitas adalah bisa berkomunikasi dengan baik kepada tuhan, makhluk ciptaannya yaitu manusia atau yang lainnya.

Nah dalam proses belajar saat ini saya mengalami culture shocking, yaitu dalam hal kedisiplinan, budaya mahasiswanya dan lingkungan kampusnya. Masalah disiplin di kampus saya sangat menghawatirkan, Belum lagi tradisi di kampus yang mulai dari OPAK, mahasiswa barunya sudah diajarin untuk demo, sampai terkenal dengan aksi demonya. Kalau ketemu orang “kuliah dimana mba “ di UIN jawab saya, ooh yang demo kemarin itu ya”. Yah, memang semuanya tergantung pada kita bagaimana kita bisa beradaptasi, bergaul dengan teman, dan bagaimana kita bisa menjadi yang terbaik.

Untuk masalah kebudayaan mulai dari Sumatra sampai wilayah jawa saya tidak pernah mengalami culture shocking yang berarti, karena saya termasuk orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan. Kebanyakan culture shockingnya hanya dalam masalah bahasa saja, yang dalam hal bahasa saya tidak bisa cepat untuk mempelajari bahasa baru. Tapi Alhamdulillah saya sekarang tinggal di Jogja, karena di tempat tinggal saya dulu saat ini punya kebudayaan yang kurang baik. Yaitu budaya berhura-hura atau menghamburkan uang, tetapi tidak sesuai dengan yang di butuhkan hanya mengikuti keinginan. Sangat berbeda dengan keadaan di masyarakat Jawa yang terbiasa dengan hidup sederhana dan gak neko-neko.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline