Dari awal mula yang melatar belakangi terjadinya pertempuran Surabaya ini adalah ketidaksediaan rakyat Surabaya dijajah kembali oleh Belanda yang membonceng sekutu datang ke Surabaya untuk alasan penertiban dan pembebasan tawanan perang setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke 2. Sikap antipatif rakyat sebenarnya sudah ditunjukkan ketika rombongan tentara sekutu yang diboncengi NICA mendarat di Surabaya pada akhir september 1945.
Namun, Sekutu tidak menyelesaikan tugasnya dengan jalan damai, dan pada tanggal 27 Oktober 1945, langit di atas Surabaya dipenuhi pamflet berisi ultimatum sekutu, yang memerintahkan setiap orang yang bersenjata untuk menyerah dan meletakkan senjatanya. Pada tanggal 29 Oktober 1945, para pemimpin Inggris meminta bantuan Soekarno untuk datang ke Surabaya untuk menenangkan gelombang arek Suroboyo dan mengakhiri pertempuran melalui diskusi. Presiden Soekarno tiba bersama Wakil Presiden Muhammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifudin.
Terdapat enam kesepakatan yang dicapai setelah pembahasan alot, yang juga dihadiri oleh Sumarsono dan Bung Tomo, dan disiarkan antara pukul 18.30 hingga 21.00. Argumennya, ada gencatan senjata, keamanan mantan tahanan, dan Indonesia tidak menentang kedatangan tentara sekutu, kecuali yang mengancam kemerdekaan RI.
Setelah Sukarno kembali ke Jakarta, gencatan senjata tidak berlangsung lama karenatidak lama setelah delegasi Indonesia kembali ke Jakarta, kembali terjadi gesekan antara pejuang Indonesia dan sekutu di sekitar hotel Internatio Jembatan Merah 30 Oktober 1945 yang menyebabkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby.
Kematian Malaby membuat Inggris mempertanyakan tanggung jawab Soekarno. Inggris telah mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut Indonesia menyerahkan semua senjata kepada Inggris pada 10 November pukul 6 pagi. Jika mereka tidak setuju, Inggris akan membombardir Surabaya.
Namun demikian ultimatum tersebut tidak membuat gentar rakyat Surabaya ditambah dengan seruan jihad dari ulama, semangat yang membakar dari pidato bung Tomo dan siaran radio gubernur Soeryo yang semakin membulatkan tekad rakyat pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Surabaya sampai titik darah penghabisan. Keberanian dan ketegasan pemuda-pemuda Surabaya didalam mengambil keputusan untuk menolak ultimatum sekutu yang berisikan perintah kepada rakyat Indonesia yang berada di Surabaya untuk menyerah dengan membawa persenjataan yang dimiliknya atau dengan kata lain menyerahkan seluruh pemerintahan RI di Surabaya kepada Inggris dengan segala alat--alat keamanan dan pertahanannya, merupakan bukti semangat nasionalisme yang tinggi pemuda Surabaya.
Nasionalisme dan rasa tidak kenal takut ini ditunjukkan oleh tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh terhadap terjadinya pertempuran surabaya 1945. Sikap berani dan nasionalisme ini menjalar ke seluruh rakyat Surabaya dari berbagai golongan, usia, suku dan kelompok. Kehadiran mereka membakar semangat kepada pejuang rakyat Surabaya menghadapi sekutu. Masa perang kemerdekaan banyak para pemimpin-pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh militer, seperti Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman meminta saran-saran kepada para kiai. Mereka datang untuk meminta pendapat, nasihat, bahkan fatwa tentang perjuangan melawan penjajah. Sampai Soekarno mengirimkan utusannya secara khusus untuk bertemu KH. Hasyim Asy'ari meminta fatwa hukumnya membela tanah air. Sebelum keputusan soal Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, berkat rasa nasionalismenya Kiai Hasyim pada 17 September 1945 beliau mengeluarkan fatwa jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah.
Selain KH Hasyim Asy'ariada sosok yang mampu membakar gelora semangat rakyat Surabaya untuk berani mati melawan penjajah. Sosok tersebut adalah Soetomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo. Dalam pidato Bung Tomo sering memekikkan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar). Bung tomo dikenal sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang selalu berpidato di radio pemberontakan untuk membakar semangat perlawanan pejuang rakyat Surabaya. Bung Tomo setiap saat menggembleng dan merangsang semangat revolusioner yang diorganisasi menjadi satu benteng raksasa untuk menghadapi Sekutu(Inggris). Suara Bung Tomo yang berapi-api menciutkan nyali musuh dengan teriakan "kami tidak akan menghentikan pertempuran selama tentara Belanda masih berada di daratan Indonesia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H