Lihat ke Halaman Asli

Kenang-Kenangan AJARI 7 Lombok-Sumbawa Barat NTB

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1355655596422103868

Indonesia adalah negara yang kaya, dengan laut bertaburan ribuan pulau, membentuk negara kepulauan-atau kalau boleh dibilang, semestinya negara kelautan. Begitu gilang gemilangnya peradaban maritim diceritakan dalam sejarah bangsa ini. Majapahit, Sriwijaya dan berbagai kerajaan maritim ini pernah jaya di masa silam dengan perdagangan dan armada lautnya. Mengenai kekayaan laut, menurut Kompas 24 Oktober 2012, hasil laut Indonesia 12,5 juta Ha, namun baru dimanfaatkan 14 persennya saja. Nampaknya potensi yang belum termaksimalkan ini berujung pada belum mampunya membawa kemakmuran untuk rakyat saat ini, terutama rakyat pesisir seperti pada masa jayanya dulu.

Arung sejarah bahari atau yang disingkat menjadi AJARI, adalah agenda tahunan kemendikbud Republik Indonesia. Kegiatan ini memberi kesempatan bagi mahasiswa seluruh Indonesia untuk berpartisipasi, dan bersama-sama menjelajahi sejarah dan peradaban maritim Indonesia. Di tahun 2012 ini, AJARI sudah diselenggarakan selama 7 kali berturut-turut. AJARI 1 dilaksanakan tahun 2006, dengan menyusuri peradaban maritim di Pantai Utara Jawa, dari Tanjung Priok sampai Tanjung Merak. AJARI 2 dengan tema “Mengarungi Lautan, Menyusuri Sungai, Menguak Peradaban” digelar dengan rute Jakarta-Pontianak-Ketapang-Sukadana. Selanjutnya di tahun yang ketiga, AJARI diselenggarakan di Maluku Utara dengan rute Ternate-Bacan-Tidore-Jailolo, mengusung tema”Membangun Kembali Peradaban Bahari Dengan Menjelajah Pusat Perdagangan Rempah-Rempah Nusantara”. AJARI keempat diselenggarakan di tahun 2009, mengarungi sejarah dan peradaban maritim di Kepulauan Riau. AJARI tahun 2010, atau AJARI yang kelima digelar di NTT, untuk “Menjelajahi Pusat Peradaban Di Bumi Cendana”. Tahun 2011, AJARI digelar di Pulau Buton Sulawesi Tenggara. Tahun ini, dengan angkanya yang ke tujuh, AJARI digelar di Lombok-Sumbawa Barat NTB, dengan temanya yang menarik “Menjelajahi Peradaban Maritim Di Kepulauan Sunda Kecil, Menatap Masa Depan.”

NTB dipilih menjadi tujuan dari AJARI 7 pada tahun 2012 ini, tidak terlepas dari peranannya dalam sejarah maritim Indonesia. Di dalam kitab negarakertagama, digambarkan kota-kota perdagangan di Indonesia timur yang mempunyai hubungan dengan Majapahit. Di dalam kitab ini disebutkan bahwa jalur utama ke timur adalah kota-kota dagang di pantai selatan semenanjung sulawesi, dan wilayah tersebut dihubungkan dengan pulau sumba, lombok, solor, kumir, galiyao tua kei, dan kepulauan maluku. Di daerah-daerah pesisir pantai tersebut kemudian bisa dipastikan muncul kota-kota pelabuhan. Di pulau lombok, muncul sebuah kota pelabuhan yang bernama Ampenan, yang pada abad ke 19 terbuka baik untuk perdagangan internasional maupun lokal atau regional. Dari sini diperjualbelikan kuda, kapas, beras, dan komoditas lainnya untuk ditukar dengan barang-barang yang tidak dapat dibuat sendiri. Ampenan muncul sebagai salah satu pusat perdagangan penting, dan memuncak tahun 1880. Nampaknya hal di atas menjadi salah satu latar belakang mengapa AJARI 7 dilaksanakan di NTB.

AJARI 7 dilaksanakan mulai tanggal 26 Nopember 2012, sampai kepulangan peserta tanggal 30 Nopember 2012. Kegiatan ini diikuti oleh 109 peserta, yang terdiri dari 47 mahasiswa dari seluruh Indonesia, 6 Putri Pariwisata Ntb, dan 56 orang yang terdiri dari pejabat Kemendikbud, Gubernur Ntb, wartawan, Kepala bpnb Provinsi dan lain sebagainya. Saya mendapatkan banyak pengalaman menyenangkan dari kegiatan ini yang akan saya ceritakan di bawah. Salah satu yang paling menyenangkan adalah saya dapat berkenalan dengan para peserta dari seluruh Indonesia. Kami saling akrab dengan satu sama lain, meskipun dari daerah-daerah yang berbeda-beda, dan memiliki kultur yang juga berbeda. Rasa ke-bhinekatunggalika-an terasa semakin erat.

Selama empat hari empat malam di NTB, kami mendatangi tempat-tempat penting dan bersejarah. Pengalaman unik telah saya dapatkan sejak saya berangkat dari Yogyakarta. Dari Yogyakarta, ada tiga mahasiswa yang menjadi perwakilan, yaitu saya ( Ika Tantri dari ugm), Ega, dan Hanafi ( keduanya dari uny). Kami janjian untuk bertemu di bandara pada senin pagi. Sebelumnya saya menyangka dua orang itu adalah laki-laki, seperti yang tercantum di tiket pesawat. Saya terkejut, ternyata, Ega adalah seorang perempuan tulen. Kemudian, ketika kami tiba di BIL, begitu nama beken dari Bandara Internasional Lombok yang baru diresmikan Februari tahun ini, kami disambut dengan pertunjukan kesenian gamelan Lombok (entah itu sambutan khusus atau bukan). Menurut saya, orkes gamelan yang ditampilkan saat itu masih mirip dengan yang ada di Bali. Setelah semua peserta dari seluruh Indonesia datang, kami bergegas meninggalkan bandara menuju penginapan. Malamnya, sebuah  saya mendapat sebuah kesempatan yang menyenangkan, mengunjungi acara pembukaan di pendopo Gubernur ntb, dan jamuan makan malam dengan menu ayam taliwang dan plecing kangkung yang khas (baru pertama kalinya saya makan ayam taliwang dan plecing kangkung). Tiba di Hotel Puri Asri tempat kami menginap, saya mendapat teman sekamar yang bernama Felia Siska. Ia berasal dari Padang, Sumatra Barat. Ada sebuah hal yang konyol diantara kami, yaitu saya tidak begitu faham dengan kata-kata yang diucapkan Felia, dengan logat Padangnya. Jadi, ketika dia melakukan perbincangan dengan saya, dia harus mengulangnya sampai beberapa kali karena saya tidak mengerti. Terkadang, saya merasa dia juga sempat merasa jengkel dengan saya.

Hari kedua tentu saja menyenangkan. Pagi harinya, kami mengunjungi Ampenan yang terkenal itu. Sebelum masuk ke Pelabuhan Ampenan, saya melihat sebuah pemandangan yang menarik dan seakan-akan bisa membawa saya ke masa lalu. Bus kami melewati daerah pecinan dengan arsitektur lamanya yang khas.  Masuk wilayah bekas pelabuhan, setibanya kami turun dari bis, kami disambut oleh tarian Oncer. Sebuah hal baru lagi buat saya! Memasuki bekas Pelabuhan Ampenan, kami disibukkan dengan rasa ingin tahu yang besar, dan kami sibuk bertanya sana-sini. Di tepi laut di pelabuhan ini, nampak sisa-sisa besi tua dan sisa-sisa bangunan lama, yang ternyata itu adalah sisa-sisa dermaga yang digunakan pada zaman kolonial Belanda. Selain pecinan, ternyata di sekitar Pelabuhan Ampenan juga terdapat Kampung Melayu. dengan berjalan kaki pergilah kami ke Kampung Melayu tersebut, dan menyaksikan langsung kehidupan orang melayu di tempat ini, dan bahwa para orang Melayu di sini masih memakai Bahasa Melayu dalam keseharian mereka. Lagi-lagi, keragaman etnis yang hidup rukun berdampingan ini menandai sebuah peradaban maritim yang pernah jaya. Keluar dari kampung Melayu, saya melihat ada sebuah kendaraan tradisional unik yang bentuknya mirip Andong di Jawa, namun ditarik oleh kuda. Kata Mario teman saya dari Mataram, namanya adalah Cidomo, dan masih banyak dipakai di Lombok.

Pergi dari Ampenan, kami mengunjungi Museum Negeri Ntb. Ada dua agenda di museum ini, yaitu untuk presentasi enam makalah terpilih dengan tema “Menjelajahi Peradaban Maritim di Kepulauan Sunda Kecil, Menatap ke Masa Depan”, dan melihat sejarah Ntb secara lebih dekat melalui koleksi museum. Keenam teman kami yang berkesempatan untuk melakukan presentasi adalah Felia Siska dari IKIP PGRI Sumatra Utara-teman sekamar saya, Handoko dari Universitas Sumatra Utara, Firman Faturrohman dari UIN Syarif Hidayatullah, Tika Ramadhini dari Universitas Indonesia, Mursalat Kulap dari Universitas Negeri Gorontalo, dan Azharwadi dari Universitas Mataram. Saya tidak mendapatkan kesempatan untuk presentasi, dan sedikit merasa agak kecewa. Apalagi, kesempatan bertanyapun tidak saya dapatkan pada saat sesi tanya-jawab presentasi itu. akan tetapi, kekecewaan ini terobati ketika saya dan rombongan diajak berkeliling ke dalam ruang pamer museum. Di sana, saya banyak bertanya mengenai cerita di balik benda-benda yang saya baru lihat. Salah satu yang menarik bagi saya adalah cerita mengenai adat kawin lari di kalangan Suku Sasak. “Setiap orang yang mau menikah sesuai adat, maka harus diculik dulu oleh calon suaminya,” begitu kata bu Sarah yang mendampingi kami selama di museum.

Selepas mengunjungi museum, kami pergi ke Taman Narmada, sebuah taman air seluas 5 hektar yang dibangun oleh Raja Anak Agung Gde Ngurah pada 1727. Dalam kunjungan ini, kami dipandu oleh seorang pemandu dari Taman Narmada, kalau saya tidak salah, namanya pak Wayan.  Beliau banyak menjelaskan seputar sejarah Taman Narmada kepada kami. Kata beliau, taman ini adalah replika dari Gunung Rinjani dan Segara Anak, dan dibangun sebagai tempat berzirah dan beribadah, menggantikan puncak Gunung Rinjani yang letaknya jauh. Di dalam komplek taman air ini juga ada beberapa pendopo, dan rumah yang dulu ditempati raja dan para istrinya, serta terdapat sebuah sumber air yang dipercaya bisa membuat orang awet muda jika meminumnya. Kalau dilihat sekilas, tata letak taman air di narmada mirip dengan Taman Sari yang ada di Yogyakarta. Berundak-undak, dan ada beberapa taman air, dan bangunan untuk raja dan orang-orang terdekatnya. Di samping area Taman Narmada, ada pertokoan yang menjual souvenir khas Lombok. Membeli souvenir adalah bagian dari agenda pribadi kami masing-masing, dan tentu saja kami segera memburu banyak souvenir di tempat itu, seperti cincin, gelang dan kalung dari mutiara, kain tenun, dan kaos bertuliskan kata “Lombok”. Puas membeli souvenir, kami kembali ke bis untuk melanjutkan perjalanan ke hotel. Agenda hari kedua diteruskan malam harinya, pukul 19.00 WITA dengan seminar kesejarahan bertema sama dengan tema AJARI 7 di Hotel Lombok Raya. Pembicaranya adalah Prof. I Gde Parimartha dari Universitas Udayana, Lalu Gita Ariyadi dari Dinas Pariwisata Ntb, dan Prof. Rasyid Asba dari Universitas Mataram serta dimoderatori oleh Didik Pradjoko, M.Hum dari Universitas Indonesia. Prof. I Gde Parimartha membahas Mengenai Peran Sunda Kecil Dalam Integrasi Bangsa, Prof. A. Rasyid Asba membahas mengenai kemaritiman yang ada di Sunda Kecil, dan Lalu Gita Ariyadi, wakil dari Dinas Pariwisata NTB tentu saja mempromosikan kekayaan alam dan budaya NTB sebagai potensi wisata. Dari etiga pembicara ini, Lalu Gita Ariadi lah yang paling mendapat perhatian karena cara penyampaiannya yang kocak. Misalnya, beliau mengatakan bahwa NTB itu kependekan dari “Nasib Tergantung Bali”, atau “Nanti Tuhan Bantu”. Secara keseluruhan, seminar berjalan dengan baik, meskipun ada semacam rasa tidak puas karena tidak hadirnya pembicara yang awalnya direncanakan, yaitu Dr. Muklis Paeni, dan lagi-lagi saya tidak mendapat kesempatan untuk bertanya padahal sudah mengacungkan tangan.

Agenda hari ketiga dimulai lebih awal, yaitu sejak 04.00 WITA atau 03.00 WIB. Hari itu dimulai lebih pagi karena kami akan berlayar ke Pulau Sumbawa, mengunjungi pt. Newmont Nusa Tenggara. Perjalanan dari Lombok Tengah ke Pelabuhan Khayangan Lombok Timur sekitar dua setengah jam, kemudian dari pelabuhan ini diteruskan menyeberang ke Pelabuhan Poto Tanu di Sumbawa barat. Di pelayaran, ada fun game bagi para peserta. Sebelumnya setiap kelompok harus membuat yel dan memperagakannya masing-masing. Kelompok kami yang bernama kelompok Sanggar (diambil dari sebuah kerajaan yang hancur karena meletusnya Tambora) terdiri dari saya, Hanafi dari DIY, Mursalat Kulap dari Gorontalo, Hilda Hafid dari Makasar, Nindi dari Putri Pariwisata NTB, dan Andi dari Mataram. Menurutku, yel kelompok kami keren, meskipun sedikit kurang kompak. Setelah yel-yel, masing-masing kelompok harus menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan kemaritiman, seperti jalur perdagangan laut, dan komoditas yang diperdagangkan melalui laut. Kami sangat antusias mengerjakan seluruh pertanyaan, meskipun tidak semuanya berhasil kami jawab. Menyesal rasanya sebelumnya tidak belajar mengenai kemaritiman Indonesia dengan baik. Kami sampai di  Pelabuhan Poto Tanu sekitar jam 09.00 WITA. Selanjutnya, perjalanan menuju Grha Fitrah, tempat dinas Bupati Sumbawa Barat, sebuah kabupaten yang baru beberapa tahun di NTB. Di sana, saya melihat pemandangan baru. Grha Fitrah begitu megah, berhadapan dengan Masjid Agung Darussalam yang juga sangat megah. Akan tetapi, tidak seperti kota-kota kabupaten di Jawa, di sekeliling kedua bangunan itu tidak berjajar pertokoan, warung, dan aktivitas-aktivitas semacamnya, melainkan masih berupa bukit kering dan tanah-tanah lapang, masih sangat alami. Setelah sambutan dari pihak Kabupaten Sumbawa Barat (selama di Ntb, para bupati kebetulan sedang ada pertemuan di Jakarta, jadi terpaksa harus diwakilkan) kami menuju Pantai Maluk, sekitar dua jam perjalanan dari Grha Fitrah. Pantai Maluk adalah salah satu jalan menuju PT. Newmont Nusa Tenggara, sebuah perusahaan tambang emas yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia dan Amerika. Selama perjalanan menuju Pantai Maluk, perasaan bosan sedikit menyerang, karena dimana-mana yang disaksikan hanyalah bukti kering. Akan tetapi, saya menemukan sebuah hal yang menarik, yaitu rumah-rumah panggung di daerah ini yang banyak dipengaruhi oleh gaya rumah di Sulawesi. Apakah hal ini bagian dari sisa-sisa integrasi daerah Sulawesi dan Nusa Tenggara di masa silam dalam perdagangan laut? bisa iya, bisa tidak, harus diselidiki lebih lanjut. Sesampainya di Pantai Maluk, kami disambut oleh dua orang staf dari pt. Newmont Nusa Tenggara. Beliau memberikan penjelasan seputar galian pt. Newmont, lokasi, dan keadaan pekerja. Menurut penjelasan yang saya dapatkan, emas yang dihasilkan oleh Newmont, bukanlah emas batangan melainkan masih berupa bahan setengah jadi yang berupa bijih emas, dan diekspor ke Amerika. Pekerja di Newmont, lebih dari setengahnya adalah WNI, dan sebagian besar penduduk lokal NTB. Newmont juga telah melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah berkaitan dengan pemberian beasiswa pendidikan, upaya kelestarian lingkungan, dan sebagainya. Hal yang paling kutunggu adalah kapan kita berkunjung langsung ke pt. Newmont? Baru kemudian aku tahu, bahwa kita tidak akan berkunjung langsung, karena peraturan dari perusahaan yang tidak mengizinkan rombongan untuk kesana. Jadi, rombongan harus puas dengan paparan kedua staf tersebut. setelah pemaparan tentang pt. Newmont selesai, kami menikmati hidangan yang telah disiapkan, dengan menu utama ikan bawal bakar, sambal tomat, dan kuah sepat. Aku baru tahu, apa itu kuah sepat. Ternyata, kuah ini semacam hidangan pelengkap untuk menemani ikan bakar tersebut. Mirip dengan sayur asam, kuah sepat rasanya asam. Kuah sepat berisi mangga muda, terung, dan semacam dedaunan yang mirip daun asam. Sedangkan ikan bakar dan sambal tomatnya mirip dengan yang sudah umum, tetapi tetap saja rasanya berbeda karena sentuhan dari koki profesional Pantai Maluk. Pada keseluruhannya, kami merasa puas dengan hidangan ini, sampai pak Didik Pradjoko M. Hum yang duduk satu meja dengan saya mengatakan “makanannya mantap”, kemudian beliau menambah lagi porsi makannya. Masakan penduduk setempat memang enak, lebih-lebih memakannya langsung di tepi pantai Maluk Lombok yang indahlah yang membuat makanan ini semakin mantap! Selesai makan siang dan beribadah sholat Duhur, perjalanan dilanjutkan menuju penginapan di Pulau Lombok.

Agenda hari kamis, 29 Nopember atau yang bisa disebut hari terkahir bersama di cukup padat. Jam 06.00 WITA kami sudah melakukan perjalanan ke arah barat, menuju Balai Budidaya Laut di Sekotong, Lombok Barat. Balai Budidaya Laut ini menyediakan bibit unggul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan mengadakan penyuluhan secara rutin untuk para petani budidaya. Lagi-lagi  karena terbatasnya waktu kunjungan, maka di dalam melakukan observasi singkat kami dibagi menjadi tiga kelompok. Tim saya berkesempatan mengunjungi budidaya ikan produksi. Di tempat budidaya ikan produksi, ikan yang banyak diproduksi adalah ikan kerapu bebek dan macan. Selain itu, lobster, dan kerang Abalon juga dibudidayakan di tempat ini. Sebagian produksi dilakukan di tepi laut, dan sebagian lagi di darat, menggunakan bantuan tenaga mesin diesel untuk menyedot air agar terus mengalir.  Menurut penuturan dari salah seorang pegawai, sebagian hasil budidaya juga diekspor ke pasar Hongkong.

Sekitar 09.30 WITA, rombongan kami harus bergegas lagi menuju tempat selanjutnya, dusun tradisional Sade yang merupakan perkampungan suku Sasak, di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Menurut saya, ini adalah tempat paling mengesankan yang saya temui selama mengikuti AJARI 7. Seperti kunjungan kami di tempat-tempat selanjutnya, kami diterima oleh pemerintah daerah setempat dan Kepala Dusun Sade. Kunjungan dilakukan dengan membagi peserta ke dalam beberapa kelompok, agar lebih efektif. Di dalam melakukan observasi singkat, masing-masing kelompok didampingi oleh pemandu yang masih merupakan warga Sade. Menurut penuturan pemandu kami, rumah-rumah di desa ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu bale kodong, bale Tani dan bale bontar. Bale kodong adalah rumah tradisional yang ukurannya kecil, yang biasanya dipakai sebagai rumah pengantin baru, dan lansia. Bale tani adalah rumah yang dipakai sebagai tempat tinggal keluarga pada umumnya, sedangkan yang terakhir yaitu bale bontar adalah semacam lumbung padi. Sebuah kearifan lokal yang unik, semua rumah tersebut lantainya berasal dari campuran kotoran sapi dengan tanah liat. Alasannya menurut mereka jika hari sedang panas, lantai akan terasa sejuk, sedangkan jika cuaca sedang dingin, lantai rumah terasa hangat. Di dusun yang tidak lebih luas daripada lima hektar dan dihuni sekitar 150 kepala keluarga ini saya juga menemukan masjid. Masjid yang berada di tengah perkampungan ini juga memiliki gaya bangunan khas suku sasak, beratap limas, dan berbahan kayu dan bambu, dan atap batang padi kering. Akan tetapi yang sedikit berbeda adalah lantainya bukan berasal dari kotoran sapi dan tanah liat, melainkan berlantai keramik. Kata pemandu saya, suku Sasak Sade menjalankan solat lima waktu bukan waktu telu (subuh, magrib, isya) seperti yang dianut masyarakat Sasak, meskipun di dalam rumahnya masih ada tiga buah anak tangga, namun hanya simbol semata. Para perempuan di sini sehari-harinya meminta benang dan menenun, kemudian menjual tenunan tersebut ketika wisatawan berkunjung ke Sade. Di sana, saya sempat belajar menenun kepada seorang ibu-ibu setengah baya (saya lupa menanyakan namanya). Beliau adalah seorang suku Sasak, dan belum bisa berbahasa Indonesia. saya tidak bisa berbahasa Sasak, namun saya sedikit mengerti ketika beliau melakukan percakapan dengan teman saya yang berasal dari Lombok. Misalnya, ketika teman saya menanyakan berapa beliau menjual hasil tenunannya, sang ibu mengatakan siket, yang di dalam bahasa Jawa adalah seket, atau lima puluh (ribu rupiah) di dalam bahasa Indonesia. nampaknya ada kemiripan bahasa antara Jawa, dengan Sasak. Melangkahkan kaki, saya melihat seorang nenek yang sedang memintal benang, sambil jongkok dan nginang (mengunyah sirih). Beliau nampaknya  sudah sangat tua, mungkin sekitar 80an tahun usianya. Di tempat lain lagi, saya juga melihat nenek yang nampaknya sebaya dengan nenek yang saya temui tadi, sedang semangat menawarkan kerajinan kalung kepada rombongan kami. Mereka telah memberi inspirasi kepada saya mengenai kehidupan yang harus diperjuangkan, meskipun usia sudah renta. Lebih jauh, saat itu saya jarang melihat kakek-kakek, dan laki-laki dewasa, mungkin mereka sedang bekerja di sawah siang itu.

Pukul 14.00 WITA, rombongan bergegas menuju destinasi selanjutnya, yaitu Labuhan Haji. Sesuai namanya, Labuhan Haji adalah sebuah pelabuhan yang terletak di Lombok Timur yang pada masa kolonialisme di abad ke 19 juga berfungsi sebagai pelabuhan untuk memberangkatkan jemaah haji Indonesia dari daerah sekitar Lombok. Sayang sekali, ketika saya dan rombongan mengunjungi pelabuhan ini, sisa-sisa fisik pelabuhan sudah banyak yang dihancurkan dan dibangun menjadi bangunan baru. Akan tetapi, sebuah ciri mencolok dari sebuah pelabuhan yang pernah berjaya masih dapat saya temukan di dalam masyarakatnya. Banyak sekali masyarakat di daerah ini yang berasal dari Mandar, sebuah daerah di Sulawesi. Ketika saya menanyakan ke kepala desa setempat, beliau juga mengatakan bahwa nenek dan kakeknya berasal dari Mandar, sedangkan beliau lahir di daerah ini. Mayoritas masyarakat di Labuhan Haji bekerja sebagai nelayan, mencari ikan, dan rumput laut, kemudian dijual ke pasar atau pengepul yang datang. Berjalan sekitar 500 meter menjauhi pelabuhan, saya menemukan sebuah bangunan bekas kantor syahbandar, yang menurut kepala desa masih digunakan sampai tahun 1970an oleh pemerintah Republik Indonesia.

Sekitar pukul 15.30 WITA, rombongan AJARI 7 menuju pendopo Bupati Lombok Timur untuk acara penutupan AJARI 7. Acara dimulai pukul 19.00 WITA. Karena menunggu lama, saya dan teman-teman memutuskan untuk bermain-main di alun-alun, dan mengunjungi masjid di dekat kantor bupati. Setelah bosan, beberapa dari kami duduk di dekat pagar kantor bupati, dan antusias mendengarkan cerita dari Ririn, seorang Putri Parwisata Ntb tentang sela, semacam leak dari Lombok. Menurut teman saya tersebut, sela adalah kutukan yang diwariskan. Sela biasanya mengganggu orang yang menyakiti dirinya, namun ia hanya mengganggu, tidak bisa membunuh. Sela memakan kotoran, atau menjilat kaki seseorang. Untungnya, sela tidak bisa keluar dari pulau lombok, karena takut dengan laut. “Untung saja.... jadi saya tenang nanti kalau sudah pulang ke Jawa” pikir saya. Ada-ada saja memang cerita tutur dari masyarakat Indonesia ini, semuanya menarik dan baru bagi saya.

Acara penutupan berlangsung meriah, dengan penampilan dari tiga orang dari kami: Dini seorang mahasiswa dari Bandung dengan tari meraknya, Teizzard teman saya dari Ambon dengan permainan harmonikanya, dan Felia-teman sekamar saya, serta Rani dengan salah satu tarian tradisional dari Padang. Pemenang dari pemakalah juga sudah diumumkan, juara pertamanya adalah Mursalat Kulap, juara keduanya Tika Ramadhini, juara ketiganya Handoko, juara harapan satu adalah Firman, juara harapan dua didapatkan oleh Felia, dan harapan tiga diperoleh Azharwadi. Pemenang fun games juga sudah diumumkan, dan sayang sekali tim kami juga tidak menang. Padahal ternyata hadiahnya juga lumayan besar, menyesal.... malam terakhir di pendopo Bupati Lombok Timur ditutup dengan acara saling berjabat tangan, foto bersama, dan bernyanyi bersama. Di malam terakhir ini kami meluapkan seluruh perasaan kami dengan teman-teman yang lainnya, berterima kasih, bermaaf-maafan, bertukar alamat, berjanji akan berkunjung ke daerah, dan lain sebagainya. Bahkan, ada yang terlibat cinlok dan jadian karena AJARI 7 yang hanya empat hari ini. Saya sekali lagi, begitu senang mendapat kesempatan berada di tengah-tengah mereka saat itu, bisa menikmati beberapa hari di belahan Indonesia yang lain yang dihuni saudara sebangsa saya, bisa lebih mengenal dan akrab dengan mereka, bisa belajar berbagai hal baru dari mereka, dan bisa menikmati ayam taliwang untuk pertama kalinya! Malam itu dirundung hujan deras, sebagai tanda alampun sebenarnya tidak rela memisahkan kami. Esok harinya, tanggal 30 Nopember pagi, kami akan kembali ke daerah masing-masing, namun kami telah berjanji akan menjaga ikatan yang telah terjalin baik ini sampai nanti. Sebagai bukti, tulisan ini aku buat sebagai kenang-kenangan untuk kebersamaan kita, dan juga sebagai ucapan terimakasih kepada Kemendikbud karena telah mempersatukan kami di sebuah kesempatan yang terlalu indah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline