Beberapa waktu lalu saya sempat ngobrol tentang tas dengan teman saya, sebut saja Si Ceuceu.
Si Ceuceu bersabda :
"Kesel oge nyak boga tas awet teh. Dipake wae bosen, rek meuli nu anyar asa teu butuh-butuh teuing da masih alus. Eh, klasik deui modelna jadi teu katinggalan jaman teuing lah. Ah jadi serba salah."
Monmaap Lord Dahlah, Si Ceuceu pakai bahasa Sunda selang-seling, ea.
Bila Si Ceuceu kesal dengan tasnya yang awet, maka saya malah senang punya tas awet jadi gak harus pusing melintir untuk mencari tas baru yang cocok lahir dan batin.
Pada umumnya kaum hawa memang sangat menyukai tas. Saking tergila-gilanya dengan tas, beberapa wanita rela menggelontorkan dana bahkan seharga mobil demi mendapatkan tas impian keluaran desainer atau rumah mode terkenal.
Nah, teori tentang adanya semangat kompetisi di antara para wanita yang membuat seorang wanita membeli tas yang lebih mahal dari tas milik wanita lainnya nyatanya belum bisa dipastikan keabsahannya. Namun demikian, tas ada sebagai salah satu elemen estetis yang memiliki kegunaan di dalamnya.
Ya, selain sebagai tempat untuk barang-barang penting, sebuah tas dapat menyatukan seluruh penampilan dan membuat pernyataan gaya yang kuat.
Pada dasarnya, saya penyuka tas berbahan dasar kain, baik katun, denim, blacu, kanvas dan parasut. Kain sarung? Ah itu cocoknya cuma buat minggat dari rumah.
Selain itu, tas anyam-anyaman etnik juga seringkali memikat hati saya. Sampe sekarang saya gak pernah punya tas berbahan dasar kulit, baik kulit sapi, kambing, ular atau pun buaya jenis darat, laut, dan udara.