Lihat ke Halaman Asli

Ika Septi

TERVERIFIKASI

Lainnya

Cerpen | Jentikan Jemari Tuhan

Diperbarui: 29 November 2019   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : Getty Images

Seperti sore-sore sebelumnya, aku kembali duduk di tempat yang sama namun kali ini sendiri.  Ku tatap ruang kosong di sampingku. Sepi.  

Dia telah pergi. Tak akan ada lagi tawa lepasnya diantara kesibukan menyelaraskan warna-warna kotak rubiknya. Tak akan ada lagi ocehan-ocehan konyol dan letupan-letupan kata bijak yang keluar dari bibirnya.  Dan tak akan ada lagi bunyi denting dua botol susu kedelai kegemarannya.  Semuanya hilang dalam satu jentikan jemari Tuhan.

Aku masih bergelung dengan air mata.  Air mata yang tak akan membuatnya kembali. Dia selalu ada walau gemuruh badai dan sambaran petir menghantamku berkali-kali.  

Dia tertawa dengan kepedihanku.  Dia tersenyum diantara rasa getirku.  Dia membuatku belajar menghadapi hidup yang tak sempurna.

"Tuhan adalah sang pemilik rencana.  Kita, manusia hanya menjalani. Dia bisa membolak-balikkan semua dengan satu jentikan jemari, Che. Maka terimalah."  Judy menatapku dibalik tirai air mata.yang ku susun secara membabi-buta.

"Seperti rembulan, setiap orang memiliki sisi gelap, begitu pun aku dan kamu, Che."  Lanjutnya, matanya menerawang jauh. Aku menggeleng "Mereka yang mencercaku tidak."

Judy tersenyum "Bahkan benda seterang mentari pun memiliki sisi gelap, Che.   Tapi mungkin teman-temanmu itu menganggap diri mereka malaikat dan memandangmu sebagai pendosa yang patut untuk ditertawakan, dicerca, bahkan dikucilkan."

Aku kembali menatap ruang kosong di sisiku.  Judy adalah satu dari sedikit teman yang aku miliki.  Teman yang menerimaku apa adanya. Teman yang tidak pernah berpura-pura.  

Dalam hidup aku pernah melakukan hal buruk yang membuatku disingkirkan dari lingkaran pertemanan yang aku miliki sebelumnya.  Aku masih ingat rangkaian kalimat yang meluncur dari bibir mereka. Alangkah tajam menghujam ke dalam hati dan pikiran .  

Lantas mereka pergi dengan membawa ayat-ayat tentang kebaikan tapi tidak tentang kemurah hatian. Mereka menyingkir bersama petuah-petuah kebijaksanaan namun menghiraukan belai kasih sayang. Mereka adalah manusia-manusia tanpa cela yang tak memiliki ketulusan cinta.

Ketika mereka semua meninggalkanku yang berlumur kelam. Judy tetap tersenyum untukku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline