Kira-kira begitulah ilustrasi yang terbayang di kepala saya, ketika sepupu saya mengunggah status melalui akun media sosialnya dalam perjalanannya menaiki kendaraan berbadan besar itu menuju kampus yang kira-kira berdurasi sekitar satu jam-an itu.
Ya, saya pun kerap berada dalam suasana yang menjengahkan seperti yang dialami sepupu saya tadi. Beginilah nasib pengguna setia kendaraan umum, harus siap berbagi telinga dalam suka maupun duka, dan menikmati polusi suara yang kadang bikin bete dan pusing kepala. Dan mau tidak mau, ngaku tidak ngaku bahwa sebuah pelantang telinga adalah juru selamat yang oke punya.
Daripada mendengarkan aksi pengamen yang bersenjatakan alat musik kecrekan dari tutup limun dengan nada dan suara yang berlarian entah kemana atau mendengar musik yang di-DJ-in oleh pak supir, lebih baik berteman dengan pelantang telinga bersama dengan pasangannya tentu saja.
Pelantang telinga atau yang menurut Ivan Lanin sebagai penyuara telinga adalah sepasang pengeras suara kecil yang digunakan sangat dekat dengan telinga. Ketika digunakan, sang pemakai akan terhubung dengan frekuensi audio stereofonik, monofonik atau binaural. Sumber sinyalnya dapat berasal dari penguat suara, radio ataupun pemutar CD.
Saya menyukai alat kecil yang cikal bakalnya telah ada sejak tahun 1986 ini. Dengan menggunakan pelantang telinga, musik yang sedang saya nikmati tidak akan menganggu kesentosaan telinga orang lain. Selain itu sifat kedap suaranya membuat sang pegguna tidak terganggu dengan bebunyian yang berasal dari luar. Dalam hal ini pelantang telinga memberi privacy tersendiri bagi penggunanya.
Kebaikan pelantang telinga tidak serta merta berdiri sendiri, karena dibalik hal-hal yang melenakan tersembunyi hal buruk yang patut diwaspadai yaitu berupa gangguan pendengaran, dari ketulian sementara sampai yang lebih ekstrim lagi yaitu stroke telinga yang gejalanya diawali dengan telinga berdenging serta vertigo.
Hal ini dapat terjadi bila kita mendengarkan musik via pelantang telinga dengan volume yang melebihi ambang batas normal. Ya, terkadang saking ingin menikmati dan menjiwai musik yang kita dengarkan, tanpa sadar kita pun menaikan volume alat pemutar musik kita.
Nah, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, hendaknya kita mulai melindungi telinga kita diantaranya tidak mendengarkan musik atau apapun itu melalui pelantang telinga dengan suara yang kencang dalam jangka waktu lama. Suara yang intensitasnya melebihi 85 desibel dapat menyebabkan penurunan pendengaran sampai kerusakan telinga permanen.
Beruntungnya pengguna gadget masa kini, karena telah ada sistim peringatan dalam hal penggunaan volume tingkat tinggi walupun tetap saja ada yang tidak menghiraukannya.
Hal lainnya adalah jangan menggunakan pelantang telinga yang berukuran kecil karena hal tersebut dapat menghalangi saluran udara di telinga. Terhalangnya saluran udara dapat menyebabkan bakteri berkembang biak dengan sukacita yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pendengaran. Selain itu janganlah berbagi pelantang telinga dengan orang lain, karena kita tidak pernah tahu akan kesehatan telinga orang tersebut.
Mendengarkan musik yang kita sukai dengan menggunakan pelantang telinga bervolume tinggi itu memanglah hal yang mengasyikan namun mari kita renungkan sabda Wak Rhoma Irama ini, bahwasanya semua yang asyik-asyik itu dilarang karena itu perangkap syetan, umpannya ialah bermacam-macam kesenangan, yeay. Hidup Ridho Rhoma eh Soneta!
Sekian.