"Jangan lupa, hadir ya di acara pemilihan ketua RT yang baru."
Begitu ucap Bu RT sambil tersenyum simpul.
Saya pun langsung membalas senyum Bu RT dengan yel-yel favorit "Hidup Pak RT!" karena gak mungkin juga membalas dengan pantun, kan bukan Jarjit Singh, aih.
Bu RT pun bereaksi demi mendengar yel-yel favorit ibu-ibu arisan itu. "Jangan pilih Bapak lagi atuh, Ibu mah udah capek. Saatnya yang muda-muda yang maju."
Saya pun hanya nyengir kuda sambil dalam hati keukeuh berteriak "Hidup Pak RT!" Hihi. Menjadi ketua RT itu berat, John Cena juga mungkin gak akan kuat, apalagi di lingkungan masyarakat majemuk yang berbeda suku, ras, agama maupun level ekonominya. Saya salut kepada Pak dan Bu RT yang sampai saat ini masih dengan lapang dada memimpin warganya yang dominan ngeselin daripada nyenengin.
Saya mungkin adalah salah satu warganya yang banyak ngeselin karena gak pernah datang ke acara ke-RT/RW-an seperti Posyandu misalnya (yaeyalah bocahnya udah gede), ditambah lagi setelah Si Zorro pergi tanpa meninggalkan pesan dan warisan, siapa yang mau ditimbang, disuntik, dan ditetesi vaksin polio oleh para kader dan bu bidan?
Ya kecuali arisan lah ya itu mah lain soal karena menyangkut duit, karena sesungguhnya mata duitan adalah salah satu sifat saya yang tak terpuji di antara banyak sifat tak terpuji lainnya. Jangan ditiru ya, gak baik buat kesehatan kulit. Nah, sebagai pelipur laranya, saya pun berusaha menjadi warga yang gak mau banyak ngerepotin RT-nya, seperti membayar perelek tepat waktu dan menaati semua ketentuan RT/RW.
Dan saya pun sangat mengerti ketika Bu RT matanya sedikit berkaca-kaca saat menceritakan kesedihan hatinya bahwa ada beberapa warga yang menuntut macam-macam padahal kewajibannya sebagai warga tidak mereka penuhi. Lebih parahnya lagi ada yang memfitnah beliau berkaitan dengan uang kas RT gara-gara sang pemitnah tidak diberi pinjaman melebihi limit. Saya dapat merasakan bagaimana serba salahnya seorang ketua RT menghadapi warga yang nurus tunjung seperti itu. Oleh karena itu banyak orang yang menolak bila dicalonkan menjadi ketua RT, semua buang badan atau pura-pura pingsan.
Dulu mendiang bapak saya adalah ketua RT. Bila saja kami tidak migrasi mengikuti derap langkah kuda mungkin beliau akan menjadi RT seumur hidup karena gak ada yang mau ditunjuk. Menurut penerawangan saya, menjadi ketua RT zaman dulu gak semalesin jadi ketua RT zaman sekarang, di sebuah kampung ya entah di perumahan RSS, RS, real estate, Pantai Indah Kapas, atau di Aasgard.
Zaman sekarang di samping penduduknya sudah bejibun, orang-orangnya relatif susah diatur pulak, mau menang sendiri, menuntut hak tanpa mengerjakan kewajiban. Biasanya yang model begini adalah orang-orang yang memiliki gen nyebelin atau warga pindahan dari negeri antah berantah, dua-tiga bulan pindah tanpa lapor, udah kayak Si Kumis, bapaknya Zorro yang hidupnya nomaden, galau tiada akhir. Tetiba giliran disangka yang tidak-tidak, langsung ngamuk-ngamuk tanpa jeda.
Perilaku tak elok ini sama saja dengan mengecilkan keberadaan ketua RT. Padahal kalau ada apa-apa, larinya kemana? Ya ke RT dulu lah. Gak mungkin kan lari ke Citarum lalu terombang-ambing sampai waduk Saguling.