Nara mengeluarkan amplop coklat yang Rein tinggalkan di meja kantin dari tas gendongnya. Amplop yang belum direkat itu menggoda untuk dikeluarkan isinya.
Sejenak ia ragu lalu bertanya pada dirinya sendiri, apakah pantas ia membuka amplop yang bukan miliknya? Namun rasa penasaran yang sangat telah mengalahkan semua keraguan di hatinya.
Dengan hati-hati ia mengeluarkan lembaran kertas HVS yang berisi barisan kalimat membentuk sebuah cerita pendek. Nara mengembuskan nafasnya pelan usai membaca kisah yang ditulis oleh gadis yang kini tengah merasakan keperihan hati yang sama dengannya. Kisah tentang senja yang indah berbalut luka. Kisah yang entah mengapa mengingatkannya akan adiknya.
Jed telah pergi untuk memenuhi takdirnya. Sebuah peristiwa kecelakaan beruntun telah merengut nyawanya, ia hanya bertahan beberapa jam di mana Nara menangis tanpa henti di sisinya. Perasaan Nara semakin tergores ketika adiknya mengucap kalimat yang sama sekali tak di duganya.
"Jaga dia ya kak... Aku tahu kalau ... " Kalimat Jed terputus.
Air mata Nara meleleh tanpa henti, wajah pucat dihadapannya masih tersenyum. "Bertahanlah, dik."
Jed menggeleng. "Kalian adalah dua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Aku ingin kalian berdua selalu ada dalam kebahagiaan. Maafkan aku kak, aku harus pergi." Jed berkata pelan nyaris tak terdengar. "Kak, berjanjilah!"
Nara menganggukan kepalanya.
"Aku janji dik, pergilah dengan damai." Nara membisikkan dua kalimat yang pernah ia bisikkan kepada kakeknya yang telah meninggal beberapa tahun lalu ke telinga Jed. Nafas Jed tersenggal, lalu satu tarikan nafas panjang mengakhiri semua rasa sakit yang menderanya.
Nara membelai kepala adiknya lembut. Ia menyeka air matanya dengan lengan jaket jeansnya dan disambut oleh tangisan mami, adik-adik serta tantenya.
Nara bersandar di kursi tunggu rumah sakit yang dingin, semua bagaikan mimpi. Ia marah kepada dirinya sendiri karena gagal menjaga adiknya. Kedua tangannya mencengkram erat kepalanya seakan menahannya untuk tidak meledak.