Rasanya sudah berabad lamanya tidak menginjakan kaki di kota Jogya. Setelah menanggalkan gelar kebangsawaan karena stok darah biru saya habis di sedot nyamuk-nyamuk tak bertanggung jawab, saya pun menjadi sedikit rikuh bila harus kembali ke kota yang selalu membuat saya betah karena Mirotanya itu eh sekarang sudah menjadi Hamzah batik deng hehe. Ah sudahlah, apalah artinya sebuah gelar apalagi bila akreditasinya gak jelas.
Salah satu kuliner khas Jogya yang terkenal adalah nasi kucing. Dulu saya kerap menikmati nasi kucing di gerobak angkringan yang stand by di depan kantor gubernuran. Rasanya endang banget, makan nasi dan lauk yang hanya beberapa suap saja diantara lalu lalang kendaraan di jalan Malioboro dan lambaian daun beserta ranting dari pohon yang rindang.
Mengapa di sebut nasi kucing? Bukan karena dibentuk seperti kucing ala bento nya orang Jepang melainkan karena porsinya kecil dan disajikan dengan selembar daun yang dialasi dengan kertas koran. Di samping itu lauknya campur aduk dengan nasinya, persis ala makanan kucing. Eits, jangan mikir ke kucing persia, anggora dan kucing impor lainnya ya. Mereka itu kan mengkonsumsi makanan kalengan dengan penyajian yang gak seeksotis makanan kucing kampung.
Hari ini karena kerinduan yang sangat akan suasana Jogya, dan kebetulan ada sisa daun pisang yang belum tahu mau dibuat apa. Akhirnya saya pun meluruskan tekad membuat nasi kucing.
Nasi kucing versi saya terdiri dari nasi putih, mie goreng, orek tempe dan sambal teri jenki. Biasanya, satu porsi nasi kucing hanya terdiri dari satu atau dua lauk saja. Tapi dasar kemaruk dan ingin praktis, saya bikin tiga lauk yang di gabung di dalam satu bungkus nasi.
Makan nasi kucing kayak gini tuh sensasinya beda, karena aroma daun pisang yang bercampur dengan nasi dan lauknya itu akan selalu menumbuhkan rasa rindu akan suasana Jogyaaaaaaa, di persimpangan langkah ku terhentiiii, Am Em Dm G #eh, lempar gitar.
Ternyata nasi kucing tidak sendiri, karena di negara kita ini banyak sekali ditemukan varian nasi yang rasanya sangat dahsyat mengguncang lidah.
Di Bandung, nasi liwet adalah primadona. Hampir disetiap restoran sunda menu nasi yang rasanya gurih nikmat ini tersedia. Nasi liwet dimasak di dalam sebuah tempat yang bernama kastrol.
Di dalam satu kastrol nasi liwet biasanya terdapat potongan ikan asin jambal roti, teri medan, atau ikan asin peda merah yang berkolaborasi dengan cabe merah, cabe gendot, irisan bawang putih, bawang merah utuhan, salam, serai, dan lengkuas. Tak hanya di Bandung, di Solo pun terdapat varian nasi liwet. Kabarnya proses memasak nasi liwet Solo telah tertulis di Serat Centhini pada tahun 1819 silam.
Tasikmalaya selain terkenal dengan tahu bulatnya memiliki dua varian nasi yang kini mulai mencecap popularitas yaitu nasi tutug oncom dan nasi cikur.
Dua nasi ini sama-sama memakai kencur atau cikur sebagai bumbunya, namun sesuai dengan namanya, nasi tutug oncom memakai oncom bakar sebagai bahan tambahannya. Oncom sendiri sangat terkenal di Jawa Barat, di Kuningan, oncom dikenal dengan sebutan dage. Oncom terbuat dari hasil fermentasi bungkil kacang tanah dengan ragi Rhizopus Oligosporus NRRL 2710.
Keberadaan nasi tutug oncom telah ada sejak zaman dahulu, biasanya nasi ini menjadi menu sarapan pagi. Nasi tutug oncom sempat naik daun di era orde lama dimana harga minyak dan beras tengah melangit.
Nasi tutug oncom sangat sedap bila dinikmati dengan irisan telur dadar, ayam goreng, lalapan dan sambal. Selain nasi tutug oncom, kini nasi cikur pun mulai populer dikalangan penikmat kuliner lokal.
Varian nasi ini diolah dengan prinsip yang sama dengan nasi goreng. Nasi yang gurih dan harum ini, dapat dijadikan menu sarapan, makan siang maupun makan malam.
Cirebon adalah kota yang terkenal dengan olahan nasi jamblangnya. Beberapa bulan yang lalu saya sempat mengunjungi daerah yang berjuluk kota udang itu.