Pernahkah merasa begitu serba salah menghadapi seonggok jemuran baju basah, di cuaca yang unpredictable seperti sekarang ini ? Di jemur salah, gak di jemur juga salah, bagaikan memakan buah simalakama. Ya, sebagai E2RT alias Emak Emak Rumah Tangga yang jabatannya merangkap operator laundry, bakalan tidak asing lagi dengan salah satu kegiatan cuci jemur ini. Eh tapi gak harus E2RT juga kali ya yang sering bersentuhan dengan cuci jemur, semua lapisan masyarakat yang sudah memegang KTP sepertinya wajib bertanggung jawab dengan cuci jemur pakaiannya masing masing.
Nah, kalau menyuci kan sudah baku lah ya, gak banyak ceritanya, kalau tidak memakai tangan sendiri, tangan orang lain, ya pakai mesin, period. Tak usah di bahas, tidak menimbulkan dilema yang berkepanjangan. Kalau menjemur? Ah, menjemur itu banyak ceritanya dan berdilema pula.
Tadi pagi seperti biasa saya menjemur pakaian di tempat jemuran yang berada di halaman samping rumah dan hanya dibatasi pagar tembok kurang lebih setinggi 1,3 meter dengan jalan. Jadi baik saya ataupun orang yang lewat masih bisa saling bertukar pandang, aseek :p Gak asik nya adalah, bila saya sedang menjemur, ada saja orang yang lewat. Selain bertukar pandang juga siap sedia dengan berbagai pertanyaan retoris.
Baru ngejemurin nih?
Sudah kering ya Mbak?
Sedang apa?
Hujan Mbak ?
Rongsok, rongsokan Neng? Nah, kalau yang ini langsung di sambut dengan senyum lebar, lari kebelakang, bawa rongsokan yang bisa menghasilkan uang. *mata duitan.
Menjemur itu pekerjaan yang serius, penuh tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi. Bagaimana akan menghasilkan jemuran yang enak di pandang mata, rapi, keringnya cukup dan layak setrika, bila kerjaannya di sela terus oleh orang yang lewat dengan pertanyaan yang gak perlu dijawab tapi harus dijawab karena adab.
Dilema.
Kalau saja punya dak seperti nya akan lebih enak deh. Gak ada gangguan seperti tadi. Menjemur bakalan lebih khusuk, gak harus pake jurus sembunyi sembunyi dari orang yang seliweran lewat. Tapi setelah di pikir dan teringat kembali pengalaman ketika ngekos, dak bukan lah tempat ideal yang saya impikan selama ini. Mengapa? Karena disamping capek turun naik tangga, jemuran di atas dak biasanya lebih cepat keringnya ketika musim kemarau tiba. Bila telat mengangkat niscaya si jemuran sudah berubah bentuk jadi kripik garing dan tinggal di goreng. Sedangkan di musim penghujan, cape naik turun tangganya berbonus, karena berkejaran dengan hujan, belum lagi bila kilat dan petir menyambar. Di samping itu harus menyediakan jepitan bila tak mau pakaian kesayangan menclok entah kemana di bawa angin mamiri, muson barat atau muson timur.
Dilema.
Bagaimana halnya bila menjemur di halaman depan rumah. Nah, sepertinya cara ini cukup ideal. Jemuran akan selalu terpantau oleh mata, bisa di bolak balik sambil mennyapu halaman dan mudah dijangkau. Tapi ah, ternyata ada tapinya juga, jemuran di depan rumah itu kan membuat pemandangan rumah gak indah. Masa tamu yang datang disuguhin jemuran. Dan satu lagi, rawan kemalingan. Ini pernah terjadi pada diri saya, handuk melambai, di gondol maling lebay. Ada lagi cerita tetangga, ini lebih spektakuler karena tidak hanya pakaiannya saja yang dicuri tapi sekalian dengan jemuran bajunya, di siang hari bolong, di depan rumahnya yang kebetulan tidak berpagar.
Dilema.
Menjemur di rumah tetangga? Waaah ini nih yang paling sip, sukaaa banget hehe. Tinggal titip, urusan beres semua, kalau sudah kering atau turun hujan ada yang ngangkatin, kalau mau pergi ada yang jagain, kalau pakaian kelunturan, ada yang ngomentarin #eh.
Tapi dilema mulai melanda, karena besok besok nya sang tetangga mulai gerah. Kesal tapi gak tau mau berbuat apa. Mau ngomong langsung ke kita, takut ada hati yang luka. Mau nyindir nyindir, kitanya tebel muka. Ah dilema pun menyerang tetangga.
Nah, saya pun pernah menjadi si tetangga yang berdilema itu. Pagi pagi, pagar tanaman saya sudah di menclokin oleh jemuran tetangga sebrang rumah, AC/DC, ganjen, makeup dan mukanya tebel. Di diemin, lama lama bikin darting, mau ngelarang, hidiiihh syereemm cyiiiiin.