Sebagai pelaku bisnis rumahan, saya bebas menentukan kapan akan meliburkan diri agar terhindar dari rasa kurang piknik yang dapat mempengaruhi mood banting tulang cari duit. Dan hari minggu adalah hari yang saya pilih karena bertepatan dengan hari libur anggota keluarga lainnya.
Dalam keseharian saya yang berkutat dengan bisnis kecil-kecilan di bidang kuliner ini kegiatan masak-memasak adalah sebuah keniscayaan. Enam hari dalam seminggu saya memasak beragam jenis menu masakan yang di adaptasi dari berbagai daerah di nusantara bahkan loncat negara. Dari rendang, mangut, garang asam, palumara, soto, gulai, bistik, gudeg, rawon, brongkos, pampis, pelalah, urap, kari, sambal goreng, bumbu rujak, plecing, teriyaki, yakiniku, sampai frittata dan banyak lagi.
Walaupun menu masakan berganti setiap harinya dan diputar, tak pelak menerbitkan rasa bosan dan jenuh, baik dalam hal mengolah juga melahapnya. Oleh karena itu untuk meminimalisir kejenuhan, saat libur tiba, saya dan keluarga kerap menyambangi beberapa tempat makan dengan tujuan untuk menghilangkan rasa bosan sekaligus mencari inspirasi.
Namun kejenuhan pun kembali melanda, kali ini jenuh merogoh kocek yang dalam. Makan di luar itu identik dengan harga yang lumayan. Lumayan bikin dompet ambrol tak karuan. Sebagai gambaran saja, dibutuhkan dua sampai tiga ratus ribu rupiah untuk memuaskan nafsu makan tiga orang di rumah makan khas sunda.
Begitu pula halnya bila makan di restoran Jepang atau Thailand. Dan akan lebih dalam lagi terkadang sampai bolong sang kantong bila menyambangi restoran yang berbau ke-western-western-an. Makan di restoran atau tempat makan yang representatif memanglah sebuah kemewahan tersendiri, kita tidak hanya membayar untuk apa yang kita makan, namun juga untuk food plating nan indah, tempat yang nyaman serta pelayanan yang apik. Ya, sesuatu yang mewah itu mahal harganya.
Namun hari minggu kemarin, saya mengalami komplikasi kejenuhan tingkat dewa, jenuh memasak menu yang berat dan jenuh mengeluarkan isi dompet. Bila sudah begini pelariannya adalah memasak mie instan yang mudah, cepat, dan murah, dengan bumbu sensasi nostalgia ketika menjadi anak kos berpuluh tahun silam. Berangkatlah saya ke supermarket.
Pucuk dicinta ulam tiba, begitu memasuki area mie instan, seorang mbak-mbak SPG yang cantiknya luar biasa menyodorkan sebuah produk mie dengan kemasan dus yang menurut saya terbilang mewah.
Bakmi Mewah begitulah judulnya. Melihat penampilan covernyayang wah, saya pun jadi tertarik untuk mencobanya. Mbak SPG-nya berujar bahwa harga Bakmi Mewah kini lebih ekonomis yaitu hanya 5600 rupiah saja. Wah, baiklah, beberapa dus bakmi mewah pun langsung masuk ke dalam keranjang.
Karena Bakmi Mewah ini telah mewah dari sananya dengan adanya potongan daging ayam dan jamur asli, maka untuk meramaikannya, saya cukup menambahkan sayuran hijau berupa pokcoy, irisan daun bawang untuk menambah irisan daun bawang bawaannya, serta tomat untuk memberikan sensasi segar. Sebagai keluarga penyuka pedas, irisan cabai rawit merah tidak boleh ketinggalan.
Bakmi Mewah memiliki rasa yang lezat, mie nya lembut, potongan daging ayam dan jamurnya empuk dengan balutan bumbu yang pas di lidah. Dan yang membuat bahagia adalah seluruh anggota keluarga menyukainya, ditandai dengan disodorkannya mangkok kosong untuk di isi kembali dengan olahan bakmi mewah yang rasanya tak dapat disaingi oleh mie instan yang manapun. Perasaan komplikasi kejenuhan yang awalnya melanda pun langsung menguap berganti dengan perasaan mewah karena dapat membahagiakan keluarga.
Ternyata semangkok Bakmi Mewah telah memeberikan sebuah pelajaran, bahwa kemewahan itu tidak melulu datang dari hal-hal besar. Kemewahan tidak harus menikmati hidangan di restoran ternama, melainkan dapat kita ciptakan sendiri di rumah dengan biaya yang sangat terjangkau. Layaknya bakmi mewah yang diolah untuk seluruh anggota keluarga dengan tambahan sentuhan bumbu kasih sayang dan cinta.