Lihat ke Halaman Asli

Ika Septi

TERVERIFIKASI

Lainnya

[Cerpen] Serendipity

Diperbarui: 18 November 2016   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: faikmulachella.com

Berteman dengan kegelapan, itulah yang kini tengah dilakoninya. Bersama secangkir kopi tanpa gula yang masih mengepulkan asap tipis, Ge menyandarkan punggung lelahnya ke sandaran kursi kerjanya. Perlahan ia berputar dan memandangi setiap sudut ruangan, tempat di mana ia kini melabuhkan semua hasrat dan mimpinya. Tempat yang dibangun dengan selubung kerja keras bersama kedua sahabatnya.

Namun genap satu pekan ini Ge digayuti perasaan malas yang sangat. Bukan malas membangun fondasi mimpinya, namun malas untuk pulang. Rumah hanya membuatnya gerah. Gerah dengan rombongan kalimat berulang yang keluar dari mulut mamanya yang telah satu minggu ini berada di rumahnya, "Dia itu cantik, berpendidikan, dan yang terpenting dari keluarga baik-baik."

*

Seiris red velvet masih teronggok utuh di piring kertas berwarna keemasan, belum disentuh, sementara sirup apel yang datang sepaket dengan cake berwarna merah menyala itu telah habis diteguknya. Fe tersenyum. Perayaan ulang tahun memang selalu membahagiakan, tapi tidak baginya.

Fe menatap kalender di mejanya. Dua hari yang lalu adalah hari ulang tahunnya yang ke-31. Angka yang membuat semua kaum perempuan paruh baya dalam silsilah keluarganya gatal. Gatal untuk bertanya, "Jadi kapan?"

Fe tersenyum kecut.

*

Ge memejamkan matanya, kakinya belum juga mau diajak melangkah.

"Ge?" sebuah suara memanggilnya dari arah pintu yang langsung menyemburkan selarik sinar temaram.

"Ya, masih di sini. Kenapa balik lagi? Ada yang ketinggalan?"

"Jiwaku," Erwin menyalakan lampu lalu mengacungkan laptop kesayangannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline