Lihat ke Halaman Asli

Ika Septi

TERVERIFIKASI

Lainnya

Cerpen: Mimpi

Diperbarui: 29 Juli 2016   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - sepasang kekasih (Shutterstock)"][/caption]Mimpi itu datang berulang tanpa diundang. Bagaikan bayangan yang mengejar ke mana pun langkah diayun. Waktu tidak sepenuhnya menghapuskan sesuatu. Waktu hanya membuat sesuatu pudar dengan tetap meninggalkan goresan.

     Seza menghapus keringat yang membasahi bagian atas bibir dengan punggung tangannya. Ini adalah hari ketujuh di mana ia terbangun dengan napas yang memburu. Wajah itu kembali menari-nari di pikirannya. Delapan tahun telah berlalu, dan baru kali ini dia muncul kembali walau hanya dalam mimpi. Awalnya Seza tidak menghiraukan mimpinya, toh mimpi hanyalah bunga tidur. Tapi tujuh hari adalah waktu yang cukup lama untuk sekuntum bunga tetap mekar. Bunga itu pasti ingin menunjukkan sesuatu kepadanya, tapi entah apa.

***

     Hujan belum juga reda, telah satu jam Seza duduk di kedai kopi itu. Ia menghirup mug yang berisi cinammon hot chocolate-nya perlahan. Aroma kayu manis yang khas menemani lamunannya. Sementara sahabatnya Rani, tengah berkutat dengan netbook-nya. Rani berpendapat bahwa apa yang dialami Seza adalah sebuah fenomena psikologis. Bermimpi tentang seseorang secara terus-menerus adalah sebuah tanda bahwa ada suatu hal yang belum terselesaikan, begitu katanya.

     "Sez...." Rani menyodorkan netbooknya ke hadapan Seza.
     "Hmm." Seza menaikkan alisnya, pandangannya menerawang jauh ke luar jendela yang berkaca lebar.
     "Lihat nih."
     Seza mengerutkan dahinya, tatapannya langsung menghujam ke layar netbook yang berpendar di hadapannya. Di lini masa Rani, terlihat sebuah foto yang menunjukkan sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak menggemaskan yang tengah tersenyum bahagia.
     "Dia baru saja nge-add aku, what a surprise kan?"
     "Coba buka Facebook kamu." lanjut Rani dengan wajah penuh harap.
     "Lupa password." Seza menjawab asal.
     "Masih sakit hati?"
     Seza mengendikkan bahunya.

     Sebagai lajang di usianya yang telah menginjak angka kepala tiga membuat banyak pasangan dari teman lamanya mencurigainya. Para istri yang cantik dan menawan itu ketakutan bila para suaminya tenggelam dengan perbincangan panjang dengan wanita single sepertinya. Dan kasus yang terakhirlah yang membuat Seza enggan membuka lagi akun sosial medianya. Karena di media tempat bersosialisasi secara maya itu Seza telah dimaki-maki secara terbuka oleh seorang perempuan yang kebakaran jenggot karena curiga kepada pasangannya yang sering terlihat berbincang di kolom status Seza. Padahal tidak ada perbincangan yang istimewa antara Seza dan lelaki yang notabene adalah teman kuliahnya dahulu itu. Mereka hanya sering berbincang tentang event reuni yang akan digelar beberapa waktu ke depan. Seza jera.

***

     Jarum jam di dindingnya telah bergerak ke angka 12, tapi tidak membuat kantuk menghampirinya. Seza berguling di ranjangnya yang lebar. Mengapa mendadak pikirannya melayang kepada sebentuk wajah itu. Wajah yang kembali muncul tiba-tiba. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat bagi seseorang untuk menjalani hidupnya. Dia mungkin telah menemukan apa yang dicarinya, sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih.

     Seza masih ingat benar bagaimana rasa cinta yang berujung pahit itu merobek-robek hatinya. Rasa yang masih ia bawa hingga kini. Rasa yang pernah tersembuhkan tapi akhirnya selalu datang lagi dan lagi.

     Kantuk tak jua menyapanya, Seza berdiam diri dalam gelap. Ia berpikir, mungkin segelas susu hangat akan mengobati insomnianya. Tak berapa lama, susu bercita rasa plain itu telah memenuhi lambungnya, tapi matanya masih enggan terpejam. Seza melirik laptopnya yang tergeletak di atas meja, ada rasa gatal untuk membuka benda itu. Akhirnya di malam menjelang dini hari, dengan jari gemetar, ia ketikkan password akun medsosnya yang tidak pernah ia lupakan.

     Halaman di layar laptopnya menunjukkan banyak sekali notifikasi. Permintaan pertemanan, undangan bermain game, event, menyukai halaman, dan pesan yang berderet-deret. Seza memeriksa pesan yang masuk, tak lama matanya terbelalak ketika melihat sebuah nama muncul di sana. Ia menghela napasnya panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Jarinya kembali bergetar ketika ia menyentuh touchpad laptopnya. Awalnya Seza ragu untuk membuka pesan itu, tapi rasa penasaran mengalahkan semuanya. Ia pun mengeklik pesan dengan nama yang telah hilang dari hidupnya selama 8 tahun ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline