Sejak zaman kolonial, bahkan di era milenial ini, pendidikan masih diskriminatif. Mahal bagi orang miskin dan mudah diakses bagi orang kaya. Perlunya kemerdekaan dalam mengakses pendidikan menjadi kebutuhan utama saat ini dan telah dipenuhi pemerintah melalui program wajib belajar 12 tahun dan sistem zonasi. Kebijakan pemerintah ini diharapkan dapat diperkuat dengan perubahan paradigma guru mengajar di kelas menjadi kelas yang merdeka.
Bedasarkan literatur yang ada, Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran radikal pada masanya tentang pengajaran dengan membangun Taman Siswa. Sebuah lembaga pendidikan yang menerima semua perbedaan tidak hanya dari kalangan bangsawan.
Beliau dengan pamong lainnya menerapkan partrap triloka/sistem among, yaitu ing ngarso sung tuldoho, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani sebagai pendekatan pembelajaran progresif mengatasi segala perbedaan di antara siswa-siswanya. Utamanya dalam sistem pengajaran dan pendidikan yang dibangun melalui Taman Siswa ini, masih sangat relevan dengan keadaan di era milenial. Guru sebagai penuntun atau pamomong berkewajiban menjadi telan bagi muridnya, memberi semangat membangun prakarsa, bahkan mendorong muridnya selalu terus menerus menjadi pribadi yang berbudi pekerti.
Menurut KHD, Pendidikan diartikan sebagai 'tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak' mencapai penguasaan diri dan keadaban (budi pekerti). Maksud pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Anak dipahami sebagai pribadi yang hidup tumbuhnya terletak di luar kecakapan atau kehendak kaum pendidik.
Anak hidup sesuai dengan krodratnya sendiri. Pemahaman akan kodrat anak dapat membuat pendidik lebih memahami cara menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Melalui penggambaran sebuah kebun, KHD mengungkapkan bahwa kebutuhan tumbung kembang jagung berbeda dengan padi, bahkan tumbuhan lainnya. Setiap anak berbeda potensi, kebutuhan, dan minatnya.
Anak bukan tabularasa, yang kosong dan tidak berarti, namun makhluk hidup yang perlu dihargai keberadaannya. Dalam hal ini, pendidikan hadir sebagai tuntuan bagi anak yang tidak baik dasarnya, dituntun agar semakin baik budi pekertinya, karena apabila tidak mendapat tuntunan maka dapat menjadi orang jahat. Sebaliknya, apabila anak sudah baik, pendidik memperkuat budi pekertinya itu. Pendidik memiliki kuasa untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan.
Bahkan bagi KHD, orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga.
Di era milenial ini, proses pendidikan perlu dibangun dengan pemahaman akan kodrat zaman dan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anak untuk berkembang dalam lingkup yang merdeka. Bukan bebas yang sebebas-bebasnya namun terbatas oleh tuntutan kodrat alam menuju ke arah kebudayaan, menggunakan dasar kebangsaan, dan menanamkan dasar kemanusiaan.
Dalam prosesnya, kemerdekaan belajar dibangun dengan pemahaman bahwa murid hingga usia 17 tahun, masih suka bermain. Oleh karena itu, membangun kelas merdeka perlu dibarengi dengan penyeimbangan memberi kesempatan bermain bagi murid. Orientasi guru yang selalu menyesuaikan diri terhadap kebutuhan murid dapat diistilahkan sebagai menghamba kepada murid. Guru berorientasi pada murid dan kebutuhan belajarnya sesuai dengan kodratnya.
Akhir dari seluruh proses pendidikan di Indonesia adalah membentuk Profil Pelajar Pancasila. P3 ini merupakan pedoman, pegangan bagi guru dalam kelas untuk mewujudkan Pelajar Pancasila yaitu pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila, dengan dimensi karakter utuh mencakup beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; Mandiri; Bergotong-royong; Berkebinekaan global; Bernalar kritis; dan Kreatif. Keenam dimensi ini dijabarkan dalam elemen-elemen penting beserta subelemennya.
Berikut contoh penerapan pembelajaran merdeka yang pernah dilakukan.