Di lorong kampung, di los pasar, dan di selasar kampus yang mulai sepi, semua orang berbicara tentang lockdown. Ya, kata lockdown sedang naik daun. Kata ini menjadi kata kedua yang paling popular dan menakutkan setelah COVID-19.
Media sosial merupakan pendorong terbesar munculnya kata lockdown tanpa penjelasan memadai. Ketika walikota Solo memutuskan untuk “meliburkan” berbagai aktivitas, maka kata yang muncul adalah Solo lockdown. Ketika Menteri Luar Negeri mengumumkan Bali “ditutup” per 20 Maret selama 1 bulan, maka muncul isu Indonesia mulai proses lockdown.
Masalahnya, jangan-jangan lockdown yang di benak kita, berbeda dengan terminologi yang sebenarnya. Tahun 2018, pemerintah mengeluarkan UU No. 6 tentang karantina kesehatan. Karantina kesehatan ada tingkatannya. Mulai dari pembatasan sosial yang sekarang marak kita sebut dengan social distancing, sampai ke karantina rumah, rumah sakit, hingga wilayah. Tingkatan yang tertinggi adalah karantina wilayah atau lebih popular dengan lockdown.
Lockdown hanya bisa diatur oleh pemerintah pusat dan memiliki persyaratan yang sangat ketat. Ketika lockdown dilakukan, maka wilayah tersebut akan diisolasi, dikarantina, dijauhkan dari pergerakan lalu lintas sosial yang umum, dan pemerintah wajib memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (pasal 33, 34, dan 35). Saat ini, lockdown kemungkinan besar akan tidak efektif dan justru mengakibatkan kerusakan sosial ekonomi yang signifikan.
Dua dampak besar lockdown adalah terhentinya mobilitas ekonomi dan munculnya ketidakrasionalan perilaku ekonomi. Perputaran ekonomi selalu digerakkan oleh mobilitas uang, barang, jasa dan manusia. Ketika seluruh mobiltas terhenti atau dihentikan, maka ekonomi pun akan mandek. Rantai pasok baik nasional maupun global akan terputus, dan menurut analisis Goldman Sachs dibutuhkan sekitar 6 bulan untuk memperbaiki diri. Waktu yang lebih lama dibandingkan perkiraan meredanya pandemi Corona.
Dari sisi mobilitas jasa dan manusia, pukulan akan terjadi pada sektor pariwisata. Berkurangnya turis asing dan domestik, pembatalan hampir semua seminar, konser, pertemuan sampai ke balapan formula E akan membuat sektor pariwisata ambruk.
Selain itu, seperti dikatakan oleh John F Muth di tahun 1961 dan dikembangkan oleh Lucas dan Sargent pada tahun 70an, geliat ekonomi selalu digerakkan oleh ekspektasi rasional masyarakat, informasi dan pengalaman masa lalu. Ekspektasi rasional terkait dengan informasi yang diperoleh.
Masalah saat ini adalah informasi yang diterima tidak lengkap. Kondisi ini memicu ketakutan, dan kepanikan sehingga ekspektasi bergerak liar dan salah. Munculnya antrean panjang di supermarket – yang hanya dapat dilakukan oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas – merupakan salah satu wujud dari reaksi pasar.
Akibat pembelian panik dari sebagian kecil masyarakat, maka masyarakat kelas menengah ke bawah yang harus menanggung akibatnya. Stok menjadi langka dan harga naik. Jumlah mereka yang menanggung akibat ini tidak kecil. Menurut data BPS, jumlah penduduk dengan penghasilan menengah ke atas adalah 50 juta, sisanya adalah kelas menengah harapan (120 juta) dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Ekspektasi pesimis juga akan mendorong pengurangan konsumsi masyarakat dan investasi. Permasalahannya adalah, berdasarkan data Bank Indonesia, 63,27 persen perekonomian Indonesia digerakkan oleh konsumsi dan 32,84 persen dibentuk oleh investasi. Bila pesimisme muncul, maka pendapatan nasional akan menurun. Siapa yang paling kasihan dalam kasus ini? Kembali masyarakat berpenghasilan kecil, pedagang keliling, warung samping sekolah, tukang ojek, dan mereka yang hidup dari aktivitas ekonomi harian.
Rasanya pembatasan sosial yang didukung dengan stimulus fiskal merupakan cara yang lebih bijak pada saat ini. Pembatasan sosial yang ditaati akan memutus wabah, tanpa membebani ekonomi secara berlebihan. Sambil melakukan pembatasan sosial, kita harus memperkuat ekonomi level bawah, membiarkan semua pelaku ekonomi berupaya untuk menjaga agar bisnis tetap bergulir.