Belakangan viral mbah-mbah sepuh dengan gaya bahasanya yang medok mengkampanyekan jargon 'jangan mudik'.
Video ini banyak digandrungi netizen baik karena kemasan videonya, maupun karena pesan yang terkandung di dalamnya. Entahlah, yang jelas masyarakat mendapat hiburan segar yang baru. Lebih mengena dari pada teriakan para punggawa.
Di tengah krisis pandemi yang mencekik leher, hadirnya hiburan seolah menjadi salah satu oase, setidaknya mengalihkan sejenak rasa lapar karena beras belum terbeli sementara bantuan sosial juga tak kunjung tiba.
Ironisme ini mengajarkan pada kita bahwa pahitnya musibah menjadi sedikit tawar jika kita sempatkan melihat kekonyolan lakon di luar kita. Tengok anak-anak yang sedang bertingkah lucu, sesekali keluar ikut nimbrung di gardu jaga bersama anak-anak muda.
Diskusi mumpluk ala aktivis hingga berkelakar ria. Atau berselancar ke pasar-pasar hewan sok-sok an pilih-pilih kambing sementara kantong sedang meraung-raung minta diisi. Artinya, merdeka itu perlu. Merdeka dari rasa takut, khawatir besok makan apa? Meskipun PHK kemarin masih menyisakan luka.
Ya, merdeka itu perlu. Barang sebentar saja. Berdamai dengan kemelut hati. Menikmati perhelatan sosial di luar sana. Asal jangan lupa pakai masker dan patuhi protokol kesehatan. Melihat betapa kesulitan ternyata melekat pada setiap yang hidup. Dan itu hanya penggalan episode yang pasti akan berlalu berganti episode lakon yang baru.
Di sana ada penjual ternak yang mengeluh "Regone ajur!" ada tukang ojek yang mengeluh sepi, ada tukang bikin undangan, biro perjalanan, katering, yang mengeluh zero orderan, masih banyak yang ekonominya ambruk di masa pandemi ini. Artinya apa? Kita tak sendiri. Semua merasakan himpitan dan semua berjuang. Tidak mengeluh itupun perjuangan.
Dialektika. Sebagaimana Hegel bilang tesis dan antitesis harus berjalan seiring demi sebuah sintesis. Tesis, pandemi dan ambruknya ekonomi. Antitesis, waspada, positive thinking, jangan panik dan jaga imunitas dan perut harus tetap diisi. Sementara sintesisnya adalah lenyapnya wabah dari muka bumi ini.
Dialektika adalah ketika tesis dan antitesis tetap harus bisa sejalan. Antitesis harus bisa mengimbangi kekuatan tesis bahkan lebih. Inilah yang sedang kita upayakan. Berjuang dalam keterbatasan dengan pikiran positif tanpa kepanikan tetapi harus selalu mematuhi protokol kesehatan.
Berpikir positif menumbuhkan energi positif, dari situ akan muncul ide-ide baru dan kreatif bagaimana menggerakkan seluruh panca indera untuk menghasilkan karya yang bernilai ekonomi demi tetap bisa mengisi lambung keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H