Setidaknya sepuluh tahun terakhir, bermunculan beberapa komunitas yang menamakan diri Komunitas Literasi. Komunitas yang terdiri dari benerapa orang penulis idealis yang resah akan kondisi anak bangsa yang begitu malas berinteraksi dengan buku. Ini sudah budaya dimana orang-orang yang suka membaca di negeri ini menjadi hal yang eksklusif, bahkan malah mendapati julukan kutu buku.
Seiring waktu, kemunculannya semakin banyak. Bak jamur di musim hujan, justru tak lebih sebagai euforia. Terlebih setelah media sosial memuncaki trend milenial. Jejaring sosial menjadi tempat yang strategis untuk mereka yang mencoba menjadi pegiat literasi.
Satu komunitas berdiri kokoh, berhasil melahirkan banyak penulis pemula yang militan dan idealis dalam hal kaidah kepenulisan. Muncul komunitas lain, muncul lagi dan muncul lagi. Ada yang salah? Tidak. Justru dari fenomena kita bisa menilai masyarakat mulai tertarik dan melek tentang dunia buku dan kepenulisan.
Tapi sayang sungguh sayang. Idealisme itu justru luntur seiring kepentingan dan nafsu pribadi yang tersemat. Bertambahnya grup kepenulisan dengan admin yang berilmu literasi ala kadarnya membuat dunia perliterasian ternoda. Ingin tenar, ingin banyak member, ingin dipuji, ingin diapresiasi, ingin viral, ingin laku keras menjadi penyakit yang menjangkit. Ya, kebutuhan eksistensi dan mengisi pundi menjadi tujuan dominan.
Tak heran kini beredar grup yang menamakan diri grup kepenulisan tapi isinya tulisan-tulisan compang-camping tanpa koreksi. Admin yang hanya memiliki ilmu kepenulisan seadanya tidak mampu mengkonter tulisan-tulisan yang masuk.
Akhirnya apa yang terjadi? Banyak tulisan bodong beredar di grup-grup kepenulisan. Ini semacam virus yang berbahaya. Toxic!
Tulisan-tulisan miskin diksi, tanda baca awur-awuran, meninggalkan aturan kepenulisan yang benar, namun bertema krusial sedang laris manis di 'pasaran'. Pelakor, poligami, fanatisme politik, serial adzab ilahi, dsb.
Siapa penikmat tulisan-tulisan ini? Ya mereka para pembaca yang sekelas dengan pemikiran authornya. Tulisan-tulisan semacam ini biasanya menuai like dan followers yang banyak. Komentar-komentar yang terlontar tidak lagi membahas tentang kaidah kepenulisan yang author terapkan. Hanya berkutat pada isi cerita, bullyan, hujatan, tuduhan, fitnah, nyinyiran dan bukan pembenahan tulisannya dari segi literasi.
Grup literasi sekarang sudah rusak. Terdistorsi oleh banyaknya kepentingan. Namun tidak semuanya begitu. Masih ada meskipun tidak banyak grup kepenulisan yang masih memegang teguh etika literasi dan mampu menghargai karya orang lain dari segi kemasan yang apik dan sesuai aturan meskipun isi tulisan tidak mempertemukan mereka pada titik kesepahaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H