Lihat ke Halaman Asli

Ika Oktariani

Palembang, Indonesia

Ku Kejar Mimpi Itu, Ayah!

Diperbarui: 20 Juni 2020   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cahaya pagi telah terbit, sinarnya begitu hangat menyentuh kulitku, diatas tanah kakiku menopang, kedua bola mata masih tak lepas menatap lembaran-lembaran kertas putih yang terpampang menempel di hadapan mataku.

Aku yakin, pasti aku terpilih, pasti, ucapku membatin, Aku begitu yakin karena aku sudah melakukan hal-hal terbaikku, dan yakinku karena doa ibu dan ayah yang selalu terpanjat setiap harinya. Mataku melebar, takkala memperhatikan nama-nama yang tertulis disana. Tak puas sekali, aku mencoba mengulang kedua kali mengulik nama-nama disana. Mataku pun semakin melebar, melebar, dan melebar.

Namaku tidak tercatat di papan pengumuman, pengumuman masuk ke Perguruan Tinggi Fakultas Hukum di Universitas Favorit ku itu, airmataku mulai berlinangan, ada rasa pukulan di dada sebelah kiriku, rasanya begitu sakit, hancur sudah rasanya, harapan  besar itu tidak aku dapatkan tahun ini. Dunia sejenak terasa berhenti berputar, pikiranku mulai berterbangan, kata-kata apa yang aku harus ucapkan kepada mereka, ayah dan ibu, apalagi aku adalah anak tunggal mereka, harapan mereka, tumpuan mereka.

Pagi itu aku melihat wajah-wajah dengan rona bahagia, mereka tersenyum lalu berpelukan, lalu di sisi lain, banyak  rona wajah sama sepertiku, aku bisa menebak hal apa yang terjadi, pasti perasaan mereka sama dengan yang kurasakan. Di dadaku kembali seperti terasa ada desakan, desakan hati yang penuh gelisah, entah mengapa akupun tak tahu kapan air mata di pipiku terjatuh, segera aku beristifar, menyebut nama Rabbku, berucap untuk mendinginkan hati yang kecewa.

Kakiku pun berputar berbalik arah, pikiranku terus saja mengingat pengumuman itu, "Ya Allah, apa yang harus aku lakukan...". Kata-kata rintihanku di dalam hati.

Sambil masih beristifar, akupun mulai pulang kerumah, aku mengambil motorku yang terparkir di parkiran motor kampus, aku lalu mulai menghidupkan stater motor.

Motorku yang aku bawa mulai melaju keluar kampus, tak lama tiba-tiba aku melihat wajah yang begitu aku kenal, wajah yang selalu menjadi penyemangat ku, wajah yang selalu memberi motivasiku, dan wajah yang selalu mengajarkan kepadaku, mengajarkan bagaimana berjuang.


Aku terkejut melihat wajah-wajah itu, karena sebelumnya mereka berkata tak akan datang. Motorku aku pakirkan di depan mereka, segera akupun menghadap mereka, ayah dan ibu. Iya, mereka berada di depanku. Mata mereka menatap diriku, menatap dengan penuh harap.

Tubuhku langsung menerobos mereka, memeluk mereka berdua. Air mataku terjatuh lagi, di dalam hatiku berkata "maaf, mbak belum bisa lulus masuk ke Perguruan Tinggi, mbak belum bisa mendapatkan beasiswa untuk menjadi pengacara seperti janji mbak".

Iya, janjiku waktu kecil saat aku melihat ketidakadilan hukum kepada kakekku yang tak bersalah, yang sebenarnya adalah korban. Aku masih mengingat ayah yang  selalu berkata "kamu harus menjadi pengacara saat besar nanti!". Kata-kata itu terus saja terngiang di telingaku.


"Bagaimana nak hasilnya?" Tanya ayah dengan suaranya yang pelan kepadaku. Aku terdiam, mataku sudah berlinangan, kepalaku perlahan menggeleng, memberikan jawaban atas pertanyaannya. Ayah lalu terdiam juga, wajah ayah terlihat lesu, namun senyum masih ia lontarkan kepadaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline