Saat publik Indonesia sekitar satu bulan ini sedang disibukkan dengan hiruk pikuk berbagai isu dari yang paling receh hingga besar seperti virus corona dan kejar-kejaran buronan kasus korupsi untuk yang kesekian kali, ada satu isu yang cukup menarik tapi kelihatannya tidak banyak disorot media nasional. Tentu saja isu itu adalah pendirian Partai Masyumi atau Masyumi Reborn-asyik pake istilah yang gaul.
Terus apa anehnya isu ini dibandingkan isu lain yang saat ini lebih heboh? Ya ga ada sih, hipotesisku paling cuma membangkitkan romantisme zaman awal kemerdekaan dan mengukuhkan politik identitas yang lain. Loh kok gitu? Nanti kita coba bongkar kenapa bagi saya pendirian Masyumi baru sama sekali tidak menarik disaat mulai pasca-reformasi hingga kini partai Islam sudah banyak.
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sendiri memiliki sejarah yang panjang dalam ranah perpolitikan Indonesia terutama setelah proklamasi kemerdekaan. Lha terus apa bedanya dengan NU?
Kalau soal perbedaan dengan Nahdlatul Ulama (NU) dalam sejarahnya pernah tergabung dalam Masyumi namun keluar pada 1952 kemudian membentuk partai sendiri atau sekitar tiga tahun sebelum pemilihan umum (pemilu) Indonesia pertama pada 1955 (Bruinessen, 2013:136).
Penyebab keluarnya NU dari Masyumi ini memang memiliki sebab yang pelik tetapi secara garis besar disebabkan karena kurang terserapnya aspirasi NU dan sindiran terhadap kiai yang dianggap tidak memiliki rasa hormat terhadap ulama. (Historia, November 2019).
Akhirnya NU yang telah memisahkan diri ini menjadi pesaing Masyumi dalam pemilu 1955 terutama dalam merebut suara pemilih Muslim. Pada saat itu memang Masyumi dan NU bisa "memenangkan" pemilih Muslim dengan perolehan secara berurutan 21 dan 18,5 persen dibawah PNI dengan perolehan 22,5 persen (Bruinessen, 2013:289).
Sayangnya, keterlibatan dengan Pemberontakan PRRI pada 1958 membuat partai ini harus dibubarkan oleh Soekarno pada 1960. Pada awal masa orde baru tepatnya tahun 1968 Masyumi sebenarnya akan dibentuk kembali dengan nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) untuk menggaet pemilih dari kalangan Masyumi (Bruinessen, 2013:291).
Partai ini hanya saja tidak didukung oleh pentolan Masyumi seperti Natsir serta dikendalikan oleh orang-orang yang propemerintah hingga mengakibatkan kehilangan daya kritisnya sehingga lambat laun ditinggalkan (Kuntowijoyo, 2018;240).
Demi memunculkan romantisme masa lalu memang tidak salah membentuk partai dengan nama lama namun mungkin ada "kemasan baru" didalamnya. Kalau kata Kuntowijoyo (2018) ini merupakan strategi struktural.
Strategi ini bisa juga dinamakan strategi politik dimana pembentukan apa yang disebut sebagai partai Islam juga salah satu langkahnya selain duduk di parlemen. Tidak heran istilah Islam Politik muncul dari strategi ini.
Dengan pendirian Masyumi baru ini patut dipertanyakan apalagi yang akan dikejar padahal pasca reformasi jumlah partai termasuk yang menganggap dirinya partai Islam pun menjamur.