Kericuhan dalam tubuh suatu organisasi seperti menjadi bumbu yang membuat dinamika pergerakan organisasi memiliki arti penting. Kericuhan juga tidak bisa lepas dari organisasi yang bernama partai politik (parpol).
Kalau kericuhan selalu terjadi apalagi dalam acara suksesi sebuah parpol tidak bisa dimaklumi terus-menerus. Apalagi kericuhannya berujung konflik yang berujung pada perusakan fasilitas umum. Kericuhan seperti itu baru saja terjadi dalam kongres yang dilaksanakan oleh Partai Amanat Nasional (PAN) pada Rabu (12/2/2020) lalu di Hotel Clarion, Kendari, Sulawesi Tenggara (Tirto, 12/2/2020).
Perhelatan yang sudah dimulai dari Senin (10/2/2020) ini tidak bisa dilepaskan dari konflik kedua kubu calon kuat ketua umum Zulkifli Hasan (Zulhas) dan Mulfachri Harahap yang salin tuding menuding dalam kongres tersebut.
Kericuhan yang terjadi ini bisa dibilang sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Bayangkan saja apa yang dipertontonkan kepada masyarakat dalam kongres tersebut tidak cukup dengan kursi yang bisa terbang dan kaca yang bisa pecah, bahkan sampai melukai sebanyak 10 peserta kongres (Detik, 11/2/2020).
Faktor lain yang muncul adalah kekhawatiran kubu Mulfachri yang beranggapan apabila Zulhas kembali menjadi ketua umum PAN akan ditarik dalam kubu pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Belum lagi Amien Rais tengah mengalami dekharismatisasi yang hebat ditengah partai yang memang memiliki patron yang kuat terhadap tokoh nasional tersebut sehingga patron memiliki pengaruh besar dalam partai tersebut (Tirto, 12/2/2020).
Konflik semacam apapun memang sudah sering terjadi apalagi dalam tubuh parpol di era kebebasan demokrasi semacam sekarang. Konflik yang pernah terjadi antara lain pernah mendera tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berujung pada dualisme kepengurusan partai tersebut dalam kurun waktu 2004-2007 (Kamarudin, 2013:37). Tidak lupa juga konflik serupa pernah mendera Partai Golongan Karya (Golkar) pada 2016 hingga menyebabkan dualisme pada tubuh partai tersebut (Kompas, 14/1/2016).
Walaupun konflik merupakan bagian yang penting dalam pergerakan sebuah parpol tetapi ayolah kita harus banyak berkaca pada konflik tersebut. Terakhir kali saya lihat bentuk keributan semacam itu saya lihat di kalangan anak Taman Kanak-Kanak (TK). Dengan adanya bentuk kericuhan seperti itu saya pikir jangan-jangan kader parpol di Indonesia banyak yang baru lulus TK itupun kalo tidak nyogok kelulusannya.
Dengan seringnya konflik terutama bentuk konflik horizontal yang mendera sebuah partai tersebut saya seharusnya sah saja menanyakan apa gunanya sebuah partai di era pasca-industrialisasi saat ini?
Padahal dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik berbunyi: "Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Dengan kenyataan yang ada saat ini saya semakin ragu dengan Undang-Undang (UU) Tentang Partai Politik tersebut. Kericuhan kongres PAN bukan hanya saja menambah daftar panjang kericuhan berbagai parpol yang telah saya sebutkan sebelumnya, tetapi patut dipertanyakan kepentingan siapa yang diperjuangkan dan tidak kalah penting baik disadari atau tidak parpol saat ini merupakan sumber disintegrasi bangsa yang paling nyata.
Kerjaan utama beberapa parpol yang hasil kerjanya hanya ricuh ini bisa saya gambarkan sebagai gangsterisme politik menurut konsepsi dari Ian Douglas Wilson dimana secara langsung maupun tidak langsung dimana preman melakukan reproduksi kekuasaan yang saat ini terlihat jelas dalam partai politik bahkan memiliki patron klien dengan pemerintah (Ian Douglas Wilson, Politik Jatah Preman, 2019).