Pendaran sinar lampion yang dibarengi dengan guyuran hujan setiap paginya di Ciputat, Tangerang Selatan pada perayaan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 25 januari lalu memberikan sukacita tersendiri bukan hanya pada keturunan Tionghoa, namun sukacita juga berpendar pada setiap benak masyarakat Indonesia yang mengharapkan keharmonisan antar etnis yang selalu naik turun dalam negara multietnis ini.
Perayaan ini memang baru meriah belum genap dekade ini setelah keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek yang mulai berlaku sejak tanggal 9 April 2002 ditetapkan karena penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia, dan bahwa Tahun Baru imlek merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang dirayakan secara turun-temurun di berbagai wilayah Indonesia.
Selain itu, mengingat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, maka ditetapkanlah Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional.
Dengan adanya keputusan presiden tersebut, otomatis memberikan angin segar tersendiri khususnya bagi etnis Tionghoa. Tidak heran, dengan pemberlakuan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tersebut selama tahun 1968-1999 tidak memiliki kebebasan dalam menyelenggarakan perayaan hari besarnya.
Bebasnya perayaan Tahun Baru Imlek pasca reformasi juga menjadi angin segar bagi keberagaman Indonesia yang semakin berwarna dengan menunjukkan keseluruhan warnanya hingga membentuk sebuah harmoni. Lepas dari itu, bebasnya ekspresi kebudayaan saat ini mengingatkan kita pada antitesis yang digagas oleh Amartya Sen terhadap tesisnya Samuel Huntington akan sebuah identitas yang tidak memiliki afiliasi tunggal pada setiap individu.
Imlek yang diselenggarakan setiap tahun bersamaan dengan perayaan keagamaan lainnya turut menegaskan pendapat Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas bahwa suatu bangsa tidak serta merta dapat dilekatkan sebagai sebuah peradaban sesuai dengan agama mayoritas.
Contohnya adalah Indonesia tidak bisa dibilang sebagai sebuah Peradaban Islam karena mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Dengan bebasnya hari perayaan agama dan budaya lain seperti Imlek yang merepresentasikan Agama Konghucu meskipun etnis Tionghoa yang merayakan tidak semua beragama Konghucu. Justru dengan begitu, apapun perayaannya diharapkan dapat merekatkan interaksi sosial antar agama dan budaya di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H