Lihat ke Halaman Asli

Ikang Maulana

Mahasiswa

Perlunya Kepemimpinan Transformatif dalam Masa Adikrisis Korupsi

Diperbarui: 19 September 2018   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: kompas.com

Kasus Korupsi yang menyeret 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang beberapa waktu lalu cukup menyentak perhatian publik. Betapa tidak, kasus yang disebabkan dugaan kasus suap APBD-P Pemkot Malang tersebut awalnya hanya menyeret walikota Malang dan 18 anggota DPRD. 

Dampak dari kasus ini cukup terasa karena roda pemerintahan Pemkot Malang terancam lumpuh dan ironisnya hingga menyebabkan pelantikan Kota Malang yang sejatinya dilaksanakan tanggal 22 September 2018 mendatang terancam gagal.

Padahal menurut Indonesian Corruption Watch (ICW) nilai kerugian negara yang timbul akibat kegiatan korupsi ada peningkatan signifikan pada rentang waktu tahun 2016 hingga 2017. 

Untuk tahun 2016 sendiri tercatat kerugian negara akibat 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun yang disebabkan pula dengan kasus korupsi yang besar seperti KTP Elektronik dan kasus TPPI. Bahkan pada 2017 terjadi peningkatan kerugian negara dengan 576 kasus korupsi dengan kerugian sebesar Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar.

Dari kasus korupsi Pemkot Kota Malang dan beberapa kasus korupsi lain di Indonesia dari kasus berskala kecil hingga paling besar sudah mengindikasikan bahwa penyelenggara negara yang sangat kita cintai ini merupakan sekumpulan orang yang memiliki kuasa tanpa makna. 

Menurut Yudi Latif (2018 : 234) hal tersebut disebabkan oleh banyaknya orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa mememnuhi nilai-nilai prinsipil dan tanggung jawab dari kedudukannya. 

Bahkan ditegaskan oleh Juvenalis hal itu terjadi karena lebih mementingkan penghidupan ketimbang harga diri, sementara demi penghidupan itu sendiri telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.

Hal itu pernah dirisaukan oleh Sutan Syahrir dalam bukunya berjudul Renungan Indonesia, Bung Syahrir menulis "Bagi kebanyakan orang-orang kita yang 'bertitel' --sengaja disebut bertitel untuk mengganti kata intelektual, sebab di Indonesia ukuran orang tidak dilihat dari penghidupan intelek.

Tetapi pendidikan sekolah- bagi 'orang-orang yang bertitel itu'tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka, ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakikat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara".

 Korupsi yang sudah banyak menyebabkan kerugian negara ini dapat menjadi bukti kegilaan pada titel tanpa kedalaman ilmu, situasinya tidak semakin membaik, bahkan memburuk. 

Upaya peningkatan sumber daya manusia hanya terbatas dengan dilandaskan pada tingkat pendidikan formal, bukan pada penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan olah budi, olah cipta dan olah rasa (kreativitas). Sehingga terjadilah fenomena dimana perolehan ijazah lebih dikedepankan daripada penguasaan ilmu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline