Lihat ke Halaman Asli

Sinetron dalam Realita

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada kunjungan rutin ke dokter kandungan kemarin, ada satu hal yang sungguh di luar kebiasaan: kami harus mengantri lama. Tumben-tumbennya ini periksa harus nunggu lama banget untuk dipanggil, padahal saya dan suami memilih dokter yang ini karena pasiennya sedikit sehingga biasanya setiap kali periksa kami cuma dateng, nunggu maksimal 10 menit di luar ruangan, terus ntar udah dipanggil untuk masuk ke ruangan dan baru kemudian diperiksa. Tapi kemarin kami harus menunggu hampir sejam.

Penyebab utamanya ternyata berasal dari salah seorang pasien juga yang akan periksa ke dokter yang sama. Permasalahannya, si pasien ini diantar oleh 4 orang, tiga laki-laki dan seorang perempuan. Nah keempat orang ini dengan tingkah laku sok penting masing-masing seringkali mengganggu jalannya pemeriksaan, sering mondar-mandir masuk ke dalam ruang pemeriksaan, melakukan “rapat” kecil dengan muka tegang di luar ruangan, menerima telepon dengan suara keras dan intonasi yang menyebalkan, yang intinya adalah kemudian mengganggu kenyamanan pasien lain yang sedang menunggu di situ. Saya sampai dengan muka kesal karena menunggu lama berkomentar “iki ngopo to kok do iyik wae?!”

Hingga akhirnya urusan mereka selesai dan saya dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan periksa. Belum ada sepersekian detik saya duduk di depan meja pak dokter, si pengantar perempuan masuk lagi ke dalam ruangan periksa dan memaksa dokter untuk memberinya foto hasil USG si pasien tadi. Pak dokter kemudian menjawab bijak “Maaf Ibu, foto USG ini adalah rekam medis milik rumah sakit. Ibu tidak bisa memintanya. Kalau Ibu membutuhkannya harus menggunakan surat kuasa dari pihak yang berwenang, baru nanti rumah sakit yang akan mengeluarkan foto USG tadi”. Saya dan suami bengong, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Si Ibu ini cukup gigih berusaha meminta, namun pak dokter juga lebih gigih lagi untuk tidak menyerahkan hasil USG yang dimaksud. Hingga akhirnya si Ibu itu “mengalah” dan keluar ruangan.

Seketika saya langsung bertanya “ada apa e dok?”, tidak berhasil menahan diri untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dan si pak dokter menghembuskan nafas panjang sebelum kemudian tertawa geli sambil bercerita tentang drama yang barusan dia hadapi. Secara singkat saya jelaskan adalah si pasien tadi ternyata sudah hamil empat bulan. Si ibu-ibu pengantar tadi adalah ibu si pasien. Kemudian tiga orang pengantar lainnya adalah masing-masing si lelaki yang dituduh bertanggung-jawab atas kehamilan si pasien, bapak dari si laki-laki itu, dan seorang penengah yang ditunjuk oleh ibu si pasien. Dejavu dengan sebuah adegan sinetron? Tunggu dulu. Si ibu tadi menuntut tanggung jawab dari si lelaki itu, namun bapaknya membela dengan alasan bahwa belum tentu yang menghamili itu adalah anaknya. Untuk menambah efek dramatisasi dari kejadian tersebut, mereka menuntut adanya tes DNA terhadap si baby tidak berdosa yang sedang tumbuh di dalam perut si pasien. Oh god... beneran deh jadi jalan cerita sinetron kacangan. Huhu... btw, soal tes DNA ini si pak dokter ampe’senewen sendiri. Menurutnya masyarakat kita udah keracunan sinetron-sinetron yang seakan menganggap tes DNA itu mudah untuk dilakukan, padahal kenyataannya di Indonesia belum ada lab yang mampu melakukan tes DNA, masih tetep harus dikirim ke luar negeri. Dan itu tidak murah!

Anyway,,, perkara itu akan dilanjutkan di hadapan petugas berbaju coklat tai yang sungguh kita andalkan itu. And somehow, kunjungan mereka ke dokter pada hari itu adalah salah satu upaya untuk membuktikan apakah benar si lelaki apes tadi adalah ayah dari bayi si pasien. Dokter saya cukup bijak untuk menyatakan bahwa dia tidak tahu, karena dia hanya bisa memberi tahu bahwa pasien ini hamil dengan umur kandungan empat bulan, dan beliau tidak tahu bagaimana cara membuktikan siapa ayah dari bayi itu. Ya iyalah...

Saya dan suami cukup terpesona dengan cerita sinteron tapi nyata yang baru saja diceritakan oleh dokter kami itu. Kejadian tersebut membuktikan pada kami bahwa kadang batas antara realita dengan sinetron sudah begitu kabur. Entah mana yang menginspirasi mana. Tapi jika sinetron yang kemudian menginspirasi tindakan manusia di dalam kehidupan nyata, maka para penulis skenario harus segera membuat cerita yang bermutu.

Okay... itu tidak mungkin.

Damn....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline