Bagi idealisme seorang jurnalis, amplop itu ibarat barang haram yang tidak boleh disentuh.
Karena biasanya, amplop jadi simbol maksud dari narasumber agar reporter membuat berita sesuai dengan keinginannya. Ujung-ujungnya, berita berpihak ke narasumber yang memberikan amplop tersebut.
Amplop yang mana sih? Ya, tentu lah maksudnya amplop yang ada isinya uang.
Tapi kalau amplop itu isinya undangan pernikahan, tentu jadinya kitanya yang harus mengeluarkan uang. *eh!
Lepas dari itu, saya sendiri ketika menjadi reporter, sangat mengamini jika amplop memang tidak baik untuk kesehatan tubuh, jiwa, dan raga, apalagi menurut keyakinan agama saya! Hehehe...
Nah, saya pernah tuh punya pengalaman perdana dapat amplop dari narasumber, lalu saya menerimanya!
Uniknya, perkenalan saya dengan amplop pertama kali terjadi dengan versi yang benar-benar lugu! Ceritanya terjadi ketika saya masih menempuh masa pelatihan.
Waktu itu, saya dan rekan saya Zuhri meliput ke seorang narasumber, lalu pulang dengan masing-masing membawa sebuah amplop berwarna putih hasil pemberian sang narasumber.
Naifnya kami waktu itu, kami terima saja karena berpikir pastilah amplop itu berisi undangan untuk acara yang diadakan si narasumber.
Saya dan Zuhri sampai memuji si bapak narasumber. Baik banget ya orangnya, itu yang ada di pikiran kami.
Soalnya baru kenal, baru wawancara, eh, kita dapat undangan untuk meliput acara lain lagi.