Lihat ke Halaman Asli

Ika Laila

meramu kisah

Rumahku yang Rusak (Part II)

Diperbarui: 15 Mei 2021   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Juli, 2013

Sekarang, aku sudah duduk di bangku SMP. Saat itu disekolah ada mata pelajaran bimbingan konseling. Di sana kita belajar tentang gangguan mental, cara bersosialisasi, dan interaksi dalam sebuah keluarga. Lambat laun aku tahu, bahwa aku memang punya keluarga yang utuh, tapi keluargaku sudah  rusak atau biasa disebut broken home. 

Sejak aku tumbuh dewasa tidak lagi ku dengar ayah dan ibu ribut. Ya,  semenjak pertengkaran hebat yang membuat kami tinggal ditumah Budhe beberapa tahun yang lalu, ayah pergi  bekerja ke luar kota setelah itu. Jadi kedamaian itu bukan karena keadaan semakin membaik tapi karena ayahku tinggal di luar kota.  

Iya, ayah dan ibu tidak lagi tinggal satu rumah. Ayahku bekerja di luar kota dan pulang setiap 3-6 bulan sekali.  Situasi rumah terasa sepi namun damai, tak ada lagi pertengkaran dan tangis sesenggukan tengah malam. Harusnya ada rasa rindu untuk ayah yang sejak aku masih SD  tidak pernah kutemui, namun yang ada justru rasa takut. 

Takut jika nanti ayah pulang dan suasana rumah jadi makin runyam. Aku yang sudah terbiasa tanpa ayah  justru malah menikmatinya dan rasanya tidak ingin ada dia lagi dalam setiap hari yang ku jalani. Tidak ada yang berubah, sifatnya tetap sama. Tempramen, pemarah, dan egois. Seolah tak ada upacara melepas rindu setelah berbulan-bulan tidak bertemu.

Justru yang ada adalah suasana tegang yang setiap waktu bisa meledak dan menyebabkan semua yang ada di rumah terluka. Setiap kali ayahku pulang, tawa yang biasa ada antara aku, ibu, dan adikku hilang begitu saja. Semua berubah jadi kemarahan setiap hari dan pertengkaran yang tidak pernah berhenti bak siaran radio 24 jam. 

Rumahku bukan lagi tempat paling nyaman, melainkan menjadi tempat yang paling ingin ku hindari. Jika ditanya bagaimana rasanya, tentu  rasa sakit sudah terlalu sederhana untuk melukiskan luka yang sejak aku masih kecil harus terus menerus ada. 

Bayangkan, yang konon katanya ayah adalah cinta pertama untuk anak perempuannya dan ayahku adalah orang yang membuatku tidak percaya akan adanya cinta. 

Selama duduk di bangku TK  sampai dengan SMP, tidak pernah ayah mengambil rapor atau menghadiri acara sekolahku. Rentetan prestasiku sepertinya sama sekali tidak menarik baginya. Sebenarnya bukan hanya karena itu, tapi karena aku memang tidak ingin ayah hadir. Aku takut dia akan marah-marah dan bersikap tempramen di hadapan banyak orang.

Bahkan sampai aku lulus SMP, ayah tidak pernah tahu kalau tahun itu adakah tahun kelulusanku. Tak pernah terlontar darinya pertanyaan mengenai bagaimana sekolahku, mau lanjut kemana? Sama sekali tidak pernah tertangkap oleh telingaku. 

Dia sama sekali tidak mau tahu perihal pendidikanku maupun adikku. Setelah masuk SMA pun, ayah tidak tahu dimana aku bersekolah dan bahkan dia tidak tahu menahu tentang .........................

Terimakasih sudah membaca sampai pada kalimat terakhir, nantikan part selanjutnya minggu depan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline