Lihat ke Halaman Asli

Ceracau Malam

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Entah benang merah apa yang dapat diambil dari seluruh perasaan yang terlalu lama terparkir rapi dalam diri. Sedang logika terlupakan. Semua terasa hidup dalam ruang gerak hati, mulai tumbuh menjadi semacam sel ganas yang menyebar ke seluruh bagian lainnya. Menyakitkan. Tak hanya fisik, psikis pun terkena imbasnya.

Begitulah hubungan antara fisik dan psikis yang terlalu harmonis. Sehingga dapat berdampak pada kesakitan terhadap keduanya. Saking harmonisnya, mungkin juga boleh dibilang romantis, jika salah satu sakit maka sakitlah semua. Kiranya seperti itulah diriku sekarang.

Tampilan fisik dari luar memang tak nampak adanya suatu kejanggalan. Tapi, tengoklah ke dalamnya dengan segala perangkat canggih dunia kedokteran ada yang salah dalam diri ini. Ada yang tak semestinya hidup dalam tubuh yang semakin hari semakin ringkih ini. Semua ini terjadi tak diduga, tak dikira. Ternyata telah 4 tahun aku bertahan dengan sang parasit yang tetap hidup dan tumbuh subur di dalam sana. 2 tahun menjalani segala macam pengobatan, hanya saran untuk mengeluarkan sang parasit secara paksa dalam tubuh ini. Sama sekali saran yang tak akan pernah kulakukan sampai kapanpun.

Sejak mengetahui apa yang salah dalam tubuhku, membuatku membenci mereka yang selalu mengalungkan stetoskop di lehernya dan berbaju putih yang sok suci bagai malaikat tetapi berperan sebagai pembunuh sekaligus. Rasanya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan yang tak seadil-adilnya. Dijatuhkan dari lantai 13 secara paksa dan masih harus bangun dengan sendirinya. Terhempas ke dalam palung samudera yang teramat gelap tanpa ada sinar matahari yang mampu menerobosnya.

Fisikku sakit, begitu pula psikisku. Begitulah kenyataan tak sesuai dengan harapan.

Semakin terasa berat dan lelah menjalani hari. Semakin terasa beban yang menindih segala daya gerakku. Lumpuh. Tak hanya dingin yang melumpuhkan tangan kananku, tapi kenyataan ini pun melumpuhkan semua jalan pikiranku yang telah terbentang jauh ke sana. Bencana badai besar meluluhlantakkan jembatan yang sedang kutempuh. Meleburkan semua rencana dalam lumpur ketidakmampuan.

Bersama tubuh yang diserang dengan jutaan sel mematikan, rasapun perlahan memudarkan cahayanya. Hati yang semakin kalang kabut mencari perlindungan dari rasa yang semakin gelap seperti senja tua yang dilipat-lipat malam. Aku terbanting ke dasar jurang seperti sang pelukis malam yang terbanting ke dasar candradimuka setelah merangkaki dentang jam cinderella.

Ku berlari mencari payung keteduhan namun teriknya mayapada menghentikan langkahku yang telanjang. Ku kejar ketenangan tapi tangisnya langit membekukan otak yang tumpul. Ku raih arah, angin meniupnya kencang membuat tubuh yang ringkih tanpa kasih semakin terseok-seok di gurun kehidupan.

Ku genggam, hanya sebuah fatamorgana. Ku tarik, hanya bias pelangi. Ku cumbu, hanya bayangan.

Ah, kanker membuatku semakin gila. Berceracau tak karuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline