Lihat ke Halaman Asli

Gado-gado

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di sebuah sudut gang beberapa waktu yang lalu, saya berjalan seorang diri menuju rumah kost sore itu. Tiba-tiba mata ini tertuju pada sebuah papan reklame di depan sebuah toko yang bertuliskan “Fhoto Cophy”. Seketika, Kegelian dan kekesalan pun bersatu padu.

Ada apa dengan semua ini? Kekeliruan bahasa di jaman ini bukan lagi sesuatu yang mengherankan. Mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing sehingga menjadi abstrak. Meng-Inggris itu keren, ha?

Perhatikanlah deretan bangunan di pinggir jalan ketika sedang berada di dalam perjalanan. Selain mengenali sekitar, secara sadar atau tidak, anda sedang melakukan tamasya bahasa sekaligus. Mulai dari percetakan, rumah makan, dan terlebih dunia perbengkelan yang menyajikan permainan ejaan yang paling inspiratif dalam memperdebatkan antara lain “serpis”, “servis” dan “sokbreker”, “sock breaker”. Marah atau menghibur? Pilih saja yang ke-dua.

Dan miris, pada kenyataanya justru kaum terdidik-lah yang sering kemayu dengan ber-Inggris-Inggris-nya. Padahal seringkali kosakata Indonesia itu terdengar lebih jernih, tajam, dan jelita. Seni, jauh terdengar lebih indah daripada art. Bahkan “Aku cinta kamu” lebih puitis, meyakinkan, dan sulit untuk diungkapkan, dibanding “I love you” yang bisa dilontarkan ke siapa saja. Ya, kan?

Memperkaya bahasa asing bukan berarti kita lantas menggantikan bahasa Indonesia dengan bahasa asing-Inggris khususnya- hanya karena ingin bergaya. Anak muda akan merasa lebih keren jika memesan “French Fries” ketimbang “Kentang Goreng”. Akan lebih parah jika sebuah restoran menggantikan Gado-Gado-makanan kesukaan saya-dengan “Vegetable salad with peanut sauce”.

Orang awam setuju dan menganggap bahwa sesuatu yang meng-Inggris itu lebih bernilai. Seperti “River Side Estate” yang jauh terdengar lebih elit. Bagaimana jika “Perumahan Pinggir Kali”? Korban semantik psikologis.

Juga salah kaprah yang satu ini. “Baru saja terjadi kecelakaan, sebuah busway menabrak seorang anak sekolah dasar,”. Tunggu, apa yang salah dari kalimat berita tersebut? Busway, atau Transjakarta? Bagaimana bisa sebuah jalan bisa menabrak orang? Pembodohan masyarakat. Jakarta, sebuah pameran besar salah tulis, katanya.

Saya termasuk orang yang kerap kesal dan jengkel dengan gado-gado bahasa (bukan dengan makanan berbumbu kacang yang paling enak itu). Bukan hanya soal kesalahan penulisan yang terpampang di jalanan, juga tentang miskinnya bahasa “nyastra” anak jaman sekarang. Pernah sekali waktu saya dipusingkan dengan tugas bahasa Indonesia adik saya yang masih duduk di kelas 6, peribahasa. Kemudian membuat saya berpikir, untuk apa anak-anak ini-terutama yang hidup di perkotaan- menghafalkan perumpamaan bahasa lama seperti: “Bagai air di daun talas”? Nyatanya mereka tidak tahu daun talas itu seperti apa. Ada baiknya peribahasa itu diperbaharui. Mungkin “Bagai menebak bajaj belok” salah satunya.

Bahasa menunjukkan bangsa. Dulu tampaknya orang lebih dihormati lebih karena darah dan jabatannya. Namun sekarang, saya kira juga tak salah jika, bahasa menunjukkan adab seseorang, mencerminkan kepribadiannya.

Kesalahan dan kekeliruan penggunaan bahasa Indonesia ada di sekeliling kita. Yah, kebanyakan dicetuskan oleh para anak muda sendiri, yang sepertinya merupakan pengikut dari mantan presiden Perancis, Gaulis.

Sudah lupakah kita akan para pemuda yang bersumpah pada 28 Oktober 1928 silam? “Kami poetra & Poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatuan, Bahasa Indonesia,”.. Masih pedulikah? Lalu siapa yang seharusnya menjadi pengawas lalu lintas bahasa carut marut ini? Ya, kita.

Sekali lagi, bahasa menunjukkan bangsa. Jadi, berbahasalah dengan pintar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline