Lihat ke Halaman Asli

Saat Pagi di Yogyakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat pagi di Yogyakarta

Cuaca sedang mendung menjadikan pagi di Yogyakarta sedikit lebih segar dibanding saat-saat biasa. Pagi itu di pinggir jalan Masjid seorang ibu dan bapak sudah siap dengan dagangan nasi gudeg dan jajan pasar. Beberapa orang dengan sabar antri menunggu sang ibu mencuwil2 dan menatanya ke dalam pincuk daun pisang. Seorang pembeli rupanya ingin membawa makanan khas Yogyakarta itu ke kantor, iapun menyodorkan kotak plastik tempat nasi itu kepada sang ibu penjual gudeg.

“Nasi sama gudeg saja yu” si pembeli itu mulai memesan. Kemudian ibu penjual gudegpun menata nasinya dengan rapi di kotak plastik tersebut dan menutupnya dengan selembar daun pisang. Ya, di Yogyakarta daun pisang masih efektif dipergunakan untuk membungkus nasi. Bisa jadi nasi gudeg ini menjadi mahal karena pembungkusnya. Bukan karena isinya. Saat ini musim hujan masih belum sepenuhnya datang, menjadikan pohon2 pisang tidak menghasilkan daun yang cukup seperti bisanya.

Sayapun ingin mencoba seperti apa ya rasa nasi gudeg tersebut. Dan kemudian giliran saya memesan nasi gudeg dengan lauk telur pindang. Dengan cekatan sang ibu penjual nasi gudeg ini menata dalam daun pincuk dan membungkusnya kembali untukku.

Hmm nasi sudah di tangan, mau kembali ke hotel rasanya sayang. Hari masih pagi. Kulihat ibu2 berseragam baju olah raga berjalan di depan penjual nasi gudeg. Kurasa sebaiknya kubuntuti mereka, mau kemana pagi2 begini dengan seragam olahraga. Sepertinya mereka akan melakukan senam khusus lansia. Ternyata benar. Di depan Puro Pakualaman sudah berkumpul belasan ibu2 yang akan melakukan senam lansia tepat di depan istana Puro Pakualaman.

Di depan istana ini ada dua lapangan di sebelah kiri dan kanan yg dibelah dengan sebuah jalan menuju keluar yaitu jalan yang cukup besar, Jalan Sultan Agung. Tapi sebelum melangkah keluar dari kompleks Puro Pakualaman kulihat sebuah masjid dengan tembok yang cukup tebal, mirip dengan tembok istana. Kubayangkan sudah pasti masjid ini adalah bagian dari kompleks Puro Pakualaman karena bentuk arsitekturnya yang Jawa dan sangat klasik. Biasanya masjid selalu menggambarkan arsitek timur tengah dan kubah. Namun masjid besar Pakualaman ini tidak begitu. Tembok2 tebal itu benar2 tidak bisa menutupi ciri khas bangunan2 kuno di Yogyakarta. Bangunannya tidak besar namun tembok yang membentengi bangunan tersebut sangat tebal dan berlapis. Tiap ujung terhenti dengan ukiran ataupun tekstur2 sederhana. Tak bisa dipungkiri meskipun jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tembok2 bali yang sangat artistik, tembok2 kebanyakan di Yogyakarta ini cukup terlihat klasik dan walaupun minimalis.

Akhirnya kulanjutkan perjalanan menuju keluar gerbang istana setelah kupuas memfoto2 di lingkungan sekitar Puro Pakualaman. Ibu2 bersenam ria di lapangan luar Puro Pakualaman pun tak luput untuk kubidik. Namun disitulah kubisa mendengar hiruk pikuk di luar kompleks Puro Pakualaman. Kulirik sana sini, baru kutahu di luar kompleks, di jalan Sultan Agung ini ada sebuah pasar pagi. Dan saat itu pasar masih dipenuhi dengan penjual dan pembeli yang akan mempersiapkan masakan2 keluarga hari ini. Karena antusias akupun berjalan mendekat ke arah pasar Sentul, nama pasar di jalan Sultan Agung ini. Pohon2 beringin berumur lumayan tua kulewati, pohon ini masih sangat kokoh dengan sulur2 yang cukup panjang berdiri di sisi lapangan kiri di luar Pura Pakualaman. Semalam aku sempat kesana beserta kawan2 Makassar, cangkrukan dan berdiskusi disana dengan menyantap roti bakar, tahu bacem dan teh poci. Sungguh hidangan yang cukup unik. Gulanyapun masih utuh dan besar, gula batulah yang dipakai untuk menyantap minuman the poci ini. Cukup hangat dan segar disaat baru saja turun hujan lebat sore itu di Yogyakarta.

Udarapun mulai menghangat saat aku mendekat ke Pasar Sentul. Para pedagang dan pembeli terlihat sibuk dengan dagangan2 yang ditawarkan dan yang akan dibeli. Si mbak yang jualan jajan pasar duduk dikelilingi puluhan keranjang dengan jajan yang berbeda2. Kulihat banyak sekali macam jajanan yang dijual, semua jajanan sepertinya tidak ada yang ketinggalan. Hmm rasanya ingin kubeli satu dua untuk kucicip tapi baru kuingat tadi aku sudah beli nasi gudeg. Mau dikemanakan jajan ini kalau kubeli, siapa yang akan makan jajan2 ini. Hmm..

Di sebelah penjual tahu bacem ada ibu yang duduk dibawah sibuk membungkus seperti bubur. Iseng kutanya, ‘Ini apa bu’? Masih dengan cekatan membungkus pesanan seorang bapak yang membeli 5 bungkus, ibu tersebut menjawab ‘Gempol’ katanya ringan. Gempol ini berbentuk bulat2 sebesar bole bekel dan diberi bubur kental berwarna coklat, sepertinya bubur kanji dan diberi santan kental berwarna cukup putih. Selera jadi tergoda untuk mengicipi gempol ini. Sambil memesan sebungkus kutanya terbuat dari apakah bubur gempol ini, belia menjawab dengan pasti ‘wos’ katanya begitu. Wos adalah beras dalam bahasa Jawa. Saat kugigit gempol ini jadi ingat dawet. Rasanya mirip sekali. Hanya saja gempol ini sedikit kasar, mungkin adonannya adalah beras menir yaitu beras yang ditumbuk kasar tanpa diayak. Beda dengan dawet yang memakai tepung kanji yang cukup halus.

Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi, mau ke Shoping masih kepagian. Biasanya kawasan penuh buku ini dimulai pukul 9. Kuputuskan untuk menunggu sampai pukul 8.30 sembari menikmati gempol dan nasi gudeg yang kubeli tadi pagi.

Shoping masih terlihat seperti dulu saat kudatang ke Yogyakarta bertahun lalu. Penuh dengan buku2 tren yang dan yang jelas cukup murah dibanding kalau kita ke toko buku resmi. Dan masih seperti saat itu pula ada toko2 yang menjual paper dan skripsi. Tiap tema diikat dengan tali dan diberi subyek, misal sosiologi, biologi dll. Hmm sangat memanjakan mahasiswa kalau begitu. Kalau sudah begini tidak ada kata untuk mundur, harus maju. Semua fasilitas sudah ada. Tinggal kita mau memanfaatkan atau tidak. Kupilih beberapa buku yang sesuai dengan tema yang kucari. Dan sebenarnya ada satu buku yang tidak tersedia. Ya sudah meskipun agak menyesal sudah datang jauh2 ke Yogyakarta, tidak menemukan buku yang kucari.

Yogyakarta di siang hari menggeliat menampakkan kesibukan bisnis, para pengemudi becak dengan sabarnya menunggu termasuk becak yang mengantarku ke Shoping. Si bapak pengemudi becak bahkan menawarkan untuk menunggu sampai ku selesai menemukan apa yang kucari. Dan beliau mengantarkanku kembali ke hotel Pakualaman.

Dan lagu KLA “Yogyakarta” masih mengiang2 di telinga hingga kumeninggalkan kota ini dengan rasa sedih yang cukup dalam. Ingin sekali kembali kesini walau hanya sehari. Yogyakarta cukup berkesan menggalkan memori yang cukup dalam di dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline