Lihat ke Halaman Asli

Agama dan Idiologi Politik Sengkuni

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Waspadalah bahwa semakin sesuatu sempurna, tidak mengenal kematian, sakit, nafsu maka, semakin jauh ia dari kemanusiawian, semakin dekat ia dengan keilmuan empiris semakin ia tidak melihat kemanusiaan.

Pernah mencuat sebuah pemberitaan di sebuah media nasional tentang kedatangan dua tokoh politik terkenal di sebuah kampus yang cukup religius, dan yang menarik dari kunjungan tersebut adalah sebuah ritual “ziarah” atau peninjauan sebuah pohon beringin tua yang telah bertahun ditanam di komplek tersebut (pohon beringin tersebut ditanam oleh mendiang Presiden Soekarno pada awal tahun 1960), kemudian dari tempat bersejarah itulah muncul sebuah keputusan yang luar biasa mengenai sosok Calon Presiden RI nanti digadang-gadang banyak pihak muncul. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah inikah gejala bahwa dengan “ziarah” pohon di komplek religius tersebut (dan juga angker tersebut, yang telah membidani kelahiran dari sebuah orde represif selama 32 tahun kekuasaannya) memunculkan sedikit peryataan dan pernyataan yang sedikit unik, apakah Animisme dan mitos mitologi menjadi agama perpolitikan di Indonesia??? Dan mengapa beliau-beliau tersebut silap dengan tidak membaca sejarah?

Disusul dengan kemudian fenomena banyak dukun politik dan caleg yang lebih percaya berendam di sungai untuk meningkatkan elektabilitasnya daripada bersusah-susah membaca kondisi masyarakat dan belajar politik yang benar di berbagai aspek sosial kemasyarakatan atau dengan sedikit, modal cukup bagi-bagi stiker dan uang 50 ribuan yang semoga mengantarkannya untuk ‘berkuasa’ selama 5 tahun kedepan, daripada bikin iklan di tv atau radio dengan konsep reality show yang lebih mahal.

Apa yang difenomenakan hari ini menjadi sebuah kaca bengala bagi masyarakat dan Negara, ketika Soeharto diturunkan dengan gerakan reformasi, tentu kita tak akan berpikir apakah jaman yang kelak akan dihadapi akan lebih baik atau lebih runyam dari pada jaman Soeharto. Dan apakah kesadaran mistis tentang penurunan dan munculnya pemimpin baru di Indonesia ini selalu dikait-kaitkan dengan munculnya “satrio piningit”, who the hell is he/she? Buat apa reformasi dan revolusi berdarah-darah dari mahasiswa yang menikmati adalah ‘the arch enemy’ dari reformasi dahulu, alais musuh idiologsnya perbahan, kemudian penyelengaraan demokrasi yang sebegitu peliknya hanya dipersembahkan pada seorang yang bertapa atau di metaforakan seorang dengan idiologi ‘suka nyekar’ atau ‘mem-pohon’, mengkungkum (berendam) diri daripada melihat dan membaca sejarah panjang perubahan bangsa ini? Dan mengapa pula kita harus menyesal dan menertawakan situasi yang sekarang terjadi, jika kita selamanya merindukan perubahan itu sendiri.

Mari kita baca dengan sedikit bahasa yang ‘intelektual’ apakah yang dimaksud dengan Idiologi Biologis dan idiologi Sosiologis.

Idiologi Biologis: bisa dibilang sebuah kesadaran, sistem pemikiran yang tergariskan dalam sebuah identitas atau lingkaran ego genealogi atau kekerabatan baik sempit yaitu bersangkutan dengan ikatan darah dan kekerabatan baik secara patriarkhi, matriarkhi, atau lebih luas suku, bangsa serumpun atau ras (chauvinis, jingo nasionalisme, nazi, agama, sosialisme purba apapun sebutannya). Dan sifat dari idiologi ini adalah ‘posesif’ atau menganggap lingkaran luar dari kelompok penganut idiologi ini merupakan kelompok etika ego yang berbeda. Dan cenderung akan terjadi resistensi atau konflik.

Idiologi sosiologis : adalah sebuahsistem kesadaranyang tumbuh karena kebutuhan dan dorongan dari pengetahuan dan sejarah, yang muncul dari sebuah hubungan sosial baik terstruktur maupun tidak terstruktur secara horizontal maupun vertikal pada masyarakat. Idiologi ini cenderung terbuka dari egonya dan berusaha mempengaruhi ego etika lainnya untuk ikut mengadopsinya. Jadi apapun ras atau genealoginya, ia akan terintegrasi dengan sendirinya dalam system etika ini, selama ia ‘menginternalisasikan’ ide tersebut dengan dirinya. Dan tentu sebuah tesis merupakan sintesa atau anti teas dari sebuah ide lainnya yang berkembang pada masyarakat tersebut, baik tumbuh secara ber-dialektika pertentangan ataupun tidak.

Maka dengan meniru pola berpikir ala Kungkum tadilah tulisan ini coba diwedarkan ,dan sebagai sebuah perumpamaan menarik mari kita lihat cerita berikut

ada cerita.....

Pada suatu ketika terjadi perdebatan, siapakah yang lebih buruk dalam perang Bratayudha; Krisna ataukah Sangkuni, keduanya merupakan penasehat dari dua belah kubu yang tengah berseteru, dan tentunya semua orang akan dengan mudah setuju dan memihakkepada pandawa dan Krisna, bahwa Krisna yang merupakan titisan sang dewa Wisnu merupakan sosok yang lebih sempurna daripada sosok Sangkuni yang bertubuh cacat dan buruk rupa. Sempurna dalam artian secara fisik, mental, serta prilaku.

Pada suatu titik keduanya bisa dikatakan mempuni di bidangnya, Krisna seorang yang banyak akal begitu pula Sangkuni, mereka mampu menjadi mastermind dalam setiap cerita baik di pihak dari pandawa dan kurawa, walau lebih sering digambarkan sangkuni adalah sosok tokoh yang akan selalu dikalahkan disetiap game of mind tersebut. Di dalam masyarakat yang sekarang terkena budaya "bersih diri", dengan mudahnya mengadopsi karater dari dunia perwayangan ini sebagai: sosok sangkuni ini selalu diidentikan dengan si jahat sedangkan Krisna dengan si baik dan bijak.

Krisna si baik dan bijak, dengan segala kemampuan ilahi sebagai seorang dewa, ia mampu mengatasi segala situasi dan kesulitan, dan kadang digambarkan dengan kebijaksanaan yang tiada duannya, begitu pula senjata2nya yang tanpa tanding, terlahirkan dengan segala keistimewaan, ketampanannya dan segudang pujian keunggulan lainnya.

Sedangkan sosok Sangkuni yang licik digambarkan dengan dengan kemampuan kesaktiannya yang hanya pas-pasan kadang harus terbirit-birit keluar dan lari dari medan juang atau bersembunyi di belakang etiak orang lain seperti Bisma dan Durna yang sakti, karena ia tahu ia bukan dewa yang sakti mandraguna dan hanya manusia biasa yang dengan mudah dikalahkan oleh manusia lannya yang lebih sakti, bahkan iapun digambarkan bukan seorang kesatria pula. Maka ia harus lebih sering mengunakan akal, dan seluruh kelicikannya untuk mendapatkan segala sesuatu yang ia mau. ia terlahir dari nothing became something dengan usaha dan keringatnya sendiri, karena ia sadar dengan takdirnya bahwa ia akan dikorbankan dengan melawan seorang dewata tetapi ia tidak mundur dan lagi gentar.

Dan akhir cerita dalam mitologi tersebut adalah dengan kekalahan Sangkuni dan Krisna keluar sebagai pemenang. Tetapi perlu digaris bawahi dan perlu diketahui dalam hal ini, bahwa dengan dikalahkannya sangkuni oleh krisna maka telah dikalahkannya kemanusiaan yag sebetul-betulnya mausiawi oleh sesosok tokoh dengan bentuk yang ideal (dewa) bukan manusia pada umumnya, dan tentu menempatkan manusia sebagai subordinat dari kekuatan yang bisa disebut idealisme, keilahian dst (ada yang marah kalau disebut keilahian atau keimanan? Mungkin ada yang sedikit Marxis atau penganut Khan yang akan paham)

karena Krisna memang harus menang begitu takdir ketika ia dilahirkan, untuk menjadi pemenang dalam pertarungan jahat dan baik(??). Ia dibekali dengan segala sesuatu yang tidak mungkin Sangkuni hadapi, yang hanya berbekal akal budi manusia. Terlahir bukan dengan kemampuan yang sangat hebat ia hanya manusia biasa yang yang meraih kekuasaan dunia dengan cara manusia, dengan usaha manusia yaitu mengunakan AKAL, BUDI. Sedangkan krisna semena-mena mengatur dengan kesaktian yang ia miliki untuk kepentingan segelintir pandawa daripada banyak orang kurawa (He..he..he...) tentu hal ini curang, dan tidak berimbang. Inikah prinsip demokarasi?

Lantas apakah yang dimaksud dengan akal budi atau norma lainnya dalam politik di Indonesia ini? Bersifat pandawa-kah atau kurawa-kah? Tapi daripada capek mengkomentari apa yang telah menjadi konsumsi masyarakat di media mending kita beralih saja pada fenomena-fenomena yang baru saja terjadi.

Kembali pada tulisan teratas. Mengapa idiologi yang membentuk identitas sebuah bangsa hanya digenealogikan pada sebatang pohon atau gambar yang di-paku-kan di ranting-rantingnya, jika kita sedikit membongkar idiologi apakah yang diusung para tokoh atau dua tokoh tersebut diatas, tentunya kita akan sedikit tersenyum pula dengan apa yang telah terjadi pada 1998. Begitu cepatnya Soeharto melengserkan diri dengan istilah lengser keprabon dan memberi jalan kepada Habiebie, sebetulnya hal serupa pula terjadi di bawah pohon itu. Tetapi kali ini tidak dengan jerit caci maki tetapi dengan tepuk sorak gembira dari berbagai pihak. Tiba-tiba munculah seorang yang seakan menjadi kesatria Pandawa dan sosok bijak Krisna di belakangnya menjadi kusir perang kemanapun sang kesatria memanah. Tetapi sang Krisna tidak memegang tali kekang kuda-kuda perang penarik kereta itu, justru sang kesatrialah yang dikalungi kekang dan di arahkan kemana dan kapan ia harus memanah. Jadi apakah benar beliau lengser dengan legowo? Atau karena secara idiologi sang kesatria bukanlah anak idiologi secara biologis dari wagsanya sehinga Krisna harus menempatkan tali kekang di lehernya, dan mengajak dia ke bawah pohon beringin untuk mendapatkan pencerahan, mengapa tidak ke pohon Bodi seperti halnya Buda mencapai kesempurnaan pegetahuan, jangan-jangan seperti halnya Adam yang dipaksa untuk memakan buah pengetahuan sehingga si ksatria harus jatuh pada dosa manusia, atau dosa Sangkuni terdahulu yang lengser karena ksatria Mahasiswa.

Dilain pihak sosok-sosok Sangkuni masyarakat ikut pula mulai menyusun kekuatan untuk menyongsong perang maha besar nanti. Selusin kerajaan bisnis kurawa dikerahkan untuk melancarkan pemenangan dari Sangkuni, walau para dewata telah mengariskan nasib kekalahan mereka melalui berbagai lembaga survei yang begitu jelasnya mengatakan kemenangan untuk Pandawa. Sekali Sangkuni tetaplah Sangkuni karena dewa dengan tegas mengharuskan dia untuk tetap maju dan mengalami kegetiran kekalahan dari sang Kresna. Maka Sangkuni ini tetap saja maju tak gentar menghadapi kesatria dari si kresna yang tak terkalahkan tadi, senada dan seirama pula dengan segala intrik yang terjadi di Bratayudha, apakah akal sangkuni ini cukup licik untuk merepotkan sang Ksatria dan Krisna ataukah hanya akan menambah daftar panjang kekalahan para Sangkuni dan Kurawa, dengan memberi perlawanan habis-habisan sampai peluit perpajangan waktu selesai di medan laga.

Agak sedikit membosankan dengan apa yang dibahasakan dengan idiologi dari para Kurawa dan sangkuni ini, pragmatisme, gerak taktis dan strategis, sebagai pengejawantahan dari akal budi dalam mencapai tujuan tentu lebih menonjol daripada ide-ide baru tentang perubahan atau idiologi sosiologis yang akan digunakan dalam merekayasa sosial masyarakat kelak. PADAHAL MEREKA WALAU TIDAK SEPENUHNYA BERSIH JUSTRU MERUPAKAN KELOMPOK MASYARAKAT YANG SEDIKIT BEBAS DENGAN DOSA MASA LALU, BUAH PENGETAHUAN DARI POHON BERINGIN YANG TELAH DISESAP OLEH KSATRIA YANG DIKEKANG KRISNA TADI. POHON YANG TELAH MENJATUHKAN KSATRIA-KSATRIA SEBELUMNYA. Merekalah sebetulnya kelompok muda yang bisa dikatakan membawa idiologi perubahan. Para Kurawa dan Pandawa, karena dengan adanya mereka maka tejadilah dialektika antara Krisna dan Sangkuni. Dan sebetulnya yang makin membikin kita agak sedikit nyiyir, benarkah idiologi yang dibacakan baik oleh Krisna dan Sangkuni tesebut adalah sebuah ide yang membawa kemakmuran di bumi ini kelak ketika telah telah subur tanah diguyur darah sehingga pohon beringin itu bisa tumbuh meraksasa, ataukah ada cerita lain yang mengatakan bahwa ternyata Sangkuni dan Krisna yang kita ketahui sekarang bukanlah mastermind sebenarnya dari sebuah pertarungan esok di kurusetra, tetapi ada sosok Sangkuni dan Krisna lainnya yang menjadikan mereka sebagai pion. Jadi boleh dibilang kelak para Sangkunilah pula yang akan memenangkan pertarungan karena manusia dengan sendirinya kelak akan membentuk dewa apa yang hendak ia sembah, agama apa yang hendak ia peluk, Idiologi apa yang akan dia pegang.

Dan bukankan Wisnu juga harus menjadi manusia terlebih dahulu (krisna) untuk bisa mengalahkan Sangkuni, menjadi manusia yang sakit, culas dan akhirnya mati juga.

Dan siapakah mereka tanyakan saja pada dewa di swargaloka dengan….berendam…

Selamat ber-platonik politik

salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline