Pantai Anyer adalah tujuan utama saat saya pertama kalinya mendaratkan kaki di Banten sekitar 20 tahun yang lalu, sebelum akhirnya saya menetap di sini hingga hari ini. Berboncengan mengendarai sepeda motor dengan mantan pacar, saya tak menyangka jarak tempuhnya cukup membuat punggung saya pegal dan bokong ini panas.
Sejauh 38 Km (tiga puluh delapan kilo meter) atau sekitar 1.30 jam (satu jam 30 menit) saya menerjang lalu lintas dan suhu panas Kota Serang-Kota Cilegon-Kabupaten Serang, dan saat tiba, saya disuguhi pemandangan pantai membentang, deburan ombak berkejaran, dan desir angin yang mengusap lembut wajah ini. Pantai, memang tak perlu banyak usaha untuk memikat penikmatnya.
Ciptaan Tuhan yang seyogyanya bisa dinikmati oleh siapapun itu, di Kawasan Anyer ini, agak berbeda. Hampir tak ada pantai yang bisa diakses publik secara gratis, padahal garis pantainya cukup panjang. Pantai hanya bisa diakses melalui hotel atau yang sudah dikelola perorangan.
Dari Kawasan Anyer yang masuk wilayah Kabupaten Serang hingga kawasan Pantai Carita yang masuk wilayah Kabupaten Pandeglang, akses menuju pantai ditutupi oleh hotel. Sekalinya ada pantai yang terbuka, itu pun sudah dikelola oleh perorangan dengan tarif masuk Rp 20 ribu sampai Rp 800 ribu bagi kendaraan bus.
Beberapa bulan ke belakang saya dan beberapa teman sempat sesaat menikmati keindahan Pantai Carita. Agak sulit tampaknya bagi warga lokal merekomendasikan tempat menikmati keindahan pantai yang bisa bebas diakses publik namun dengan fasilitas yang nyaman.
Atas rekomendasi seorang teman, kami menuju sebuah resort yang jika dilihat dari jalan raya sama sekali tidak menampakkan kesan 'resort'. Pagar tembok serupa benteng tinggi dengan cat kusam, menampakkan bangunan-bangunan 2 (dua) lantai serupa kamar-kamar yang didesign seperti resort dalam kondisi mengkhawatirkan.
Beberapa lisplangnya menjuntai, pagar kayu pada balkon banyak yang tanggal, atap rumbia ambruk di beberapa bagian. Terlihat hampir tidak ada aktivitas di dalamnya. Beberapa orang pasti ada yang berpikir resort ini berhenti beroperasi imbas wabah covid 19 beberapa tahun lalu.
Untuk mengaksesnya saya harus lapor dulu ke satpam penjaga resort. Jujur kami sampaikan bahwa, kami sekedar ingin menikmati pantai dan duduk-duduk di pasirnya. Pak satpam tercenung, "Ibu nggak akan sewa kamar?", tanyanya. "Sebentar aja Pak, duduk-duduk di pasirnya dan foto-foto saja kok ga akan nyampe 1 jam", jawab saya.
"Tidak bisa Bu, harus sewa resort. Bisa kok per jam pun", jawabnya tegas. Malas berdebat, akhirnya kami setuju untuk sewa 1 (satu) kamar. Tawar menawar terjadi dengan Abang penjaga kamar. Akhirnya disepakati di harga Rp.300.000 untuk 2 (dua) jam pemakaian.
Akhirnya kami diijinkan masuk ke kawasan resort, dan dipersilakan memarkirkan kendaraan di bawah bangunan-bangunan berlantai 2 (dua) yang atap hampir ambruknya bisa kami lihat dari jalan besar di luar pagar tembok tadi. Di lorong berpencahayaan minim yang menghantarkan kami menuju kamar, beberapa fasilitas tampak tak terawat lapuk dimakan usia.
Namun, di depan kamar yang kami sewa, taraaaa...kami disuguhi pemandangan pantai yang indah tiada tara. Pohon nyiur melambai tenang, pasir putih memenuhi seluruh sudut pandang walaupun mulai berwarna kecoklatan pertanda sudah lama tidak ada aktivitas bersih-bersih. Deru ombak dan air laut kebiruan, ditingkahi sesekali tampak perahu di kejauhan.