Demi apa, gegara penasaran banget dengan guru satu itu saya rela googling dengan kata kunci: "army", "BTS", "K-Pop", "fandom", "fanwar"...masyaaAllah tabarakAllah. Sebelum saya menuliskan yang berkecamuk di pikiran saya satu minggu terakhir ini, tak adil rasanya jika saya tak cari tahu dulu tentang kata-kata kunci di atas. Selama ini setiap anak bungsu saya cerita tentang kesenangannya akan K-Pop dan beberapa grup penyanyinya, saya kurang meresponnya dengan baik, bahkan saya seringkali ingatkan dia sambil bertanya-tanya kok kamu suka sih sama cowok berpipi mulus pake lipstik kayak gitu. "Seneng mah sama cowok yang beneran cowok, apa itu cowok kok pake blush on!', ujarku ketus.
Tak dinyana, di kelas 3 SD ini, Mawar (sebut saja begitu) punya wali kelas yang army garis keras. Untuk teman-teman seangkatan yang mungkin belum tahu kalau 'army' yang ini bukan 'tentara' yaa, tapi 'Adorable Representative M.C. for Youth'. 'BTS' adalah nama dalam Bahasa Korea Bangtan Sonyeondan (), Fans mereka adalah ARMY, dan BTS is the armor that protects them, signifying the band and their ARMY will always be together, demikian seperti saya kutip dalam websitenya. Jika diterjemahkan lebih kurang begini: BTS merupakan kepanjangan dari Bangtan Soeonyeondan atau Beyeond The Scene. Arti BTS tersebut yakni Sekelompok Anak Laki-Laki yang Mengenakan Rompi Anti Peluru.
Karena itulah apa arti ARMY erat kaitannya dengan BTS. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa makna dari apa arti ARMY sebenarnya diibaratkan tentara militer yang mengenakan rompi anti peluru. Karena itulah ARMY dan BTS tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebab keduanya akan selalu bersatu dan bersama-sama. Sehingga keduanya diibaratkan seperti seorang penggemar dan boy group yang tidak akan berpisah.
Balik lagi ke Wali kelas satu ini. Dia teridentifikasi Army garis keras melalui symbol-simbol yang digunakannya: Pin kerudungnya bergambar salah satu member BTS bernama Suga, cover hp-nya per-BTS-an, dan status-status whatsapnya beberapa kali terpantau menampilkan gambar-gambar member BTS.
Saat tahu wali kelasnya army, anak saya seneng banget, merasa punya teman untuk ngobrolin lagu-lagu terbarunya mereka, mungkin, karena di rumah, belum apa-apa saya udah kasih tampang males aja jika dia mulai bicara perBTS-an. Saya, saat itu berharap gurunya bisa lebih ngeblend dan tahu kebutuhan anak-anak di tengah gempuran berbagai produk digital yang sangat mudah mereka temui di dunia maya. Sehingga, setidaknya dia tahu bagaimana cara membatasi diri, mendampingi untuk memilih mana yang baik dan buruk, dan tentu saja saya sama sekali tidak berharap sang guru mengadopsi gaya-gaya ARMY saat berkomunikasi dengan orang tua yang tidak semuanya GenZ.
Kegalauan saya terhadap guru satu itu berawal saat ada kegiatan pembinaan Bahasa Inggris di sekolah, yang digelar Hari Sabtu beberapa minggu lalu. Malam sebelumnya guru satu ini menyampaikan melalui pesan whatsap apakah anak saya mau bergabung dalam kelas pembinaan yang tujuannya untuk melatih secara berkala anak-anak yang mau dan dianggap punya potensi dalam suatu bidang untuk dipersiapkan jika ada lomba-lomba antar sekolah. Saar itu tidak dijelskan bagaimana metode pembinaannya, lalu apa agenda perdana besok. Karena tidak ada penjelasan, besok paginya saya minta anak saya tak usah dulu bawa apa-apa, mungkin sekedar perkenalan saja. Karena Hari Sabtu, maka saya antusias mengantar ke sekolah, alih-alih setiap hari anak saya pulang pergi sendiri bersepeda.
Akhirnya, bertatap mukalah saya dengan guru satu ini. Anak saya tampak gelisah karena tidak bawa alat tulis, maka saya pun sampaikan ke sang guru "Mawar ga bawa alat tulis Miss, karena saya pikir pertemuan perdana hanya perkenalan". Do'i menjawab: "kalo alat tulis harus selalu dibawa dong bun", sambil senyum corporate kalo kata anak sekarang . Saya yang sadar banget lebih tua usianya berpuluh-puluh lipat dari dia, rada tersinggung dengan responnya. Lalu Saya jawab lagi, "lalu gimana dong miss?, kalo ga boleh, Kita pulang lagi aja", ujarku santai tapi muka mulai menunjukkan naiknya darah ini hahaaa.
Semenjak kejadian itu, ada saja cerita-cerita tentang guru ini, baik yang saya alami langsung maupun orang tua yang sengaja japri mungkin pengen sekadar berbagi. Daan, anak saya yang awalnya senang punya guru sesama ARMY ternyata mengeluhkan hal yang kurang lebih sama: cara dia berkomunikasi meresahkan. "Tuuuh, cuma Meilan yang dapat 100",sang guru setengah berteriak sambal agak emosi di depan kelas sesaat setelah ulangan Bahasa Inggris, dan anak saya dapat nilai 97 dengan cara yang menurut dia uncorrect. "Kalimat di pertanyaan itu uncorrect mah, jadi Mawar bingung. Bukannya dikoreksi eh malah disalahin", ujar Mawar kesal. Sebegai informasi, malam sebelum diselengarakannya ulangan itu, dengan gagah berani, Mawar minta saya kirim hasil koreksinya atas summary yang dibikin guru itu, secara japri. Sejak terkirim jam 19.00, alhamdulillah respon baru saya dapat esok harinya.
Entah mungkin karena kesal dikoreksi anak didik, alih-alih berterimakasih ke anak yang mengoreksi, dia malah tampak puas melihat kesalahan yang dilkaukan anak saya, barpun kalua saya lihat pertanyaan dan jawabana yang anak saya berikan, itu karena pertanyaan yang tertulis memang tak jelas SPOK-nya. "Ngapain miss sampe tereak gitu depan kelas, biasanya juga kalo Mawar dapat 100 ga pernah diumumkan depan kelas", ungkap Mawar. "temen-temen surprise in unhappy way pas dia bilang begitu,Ma", kata anakku.
Dari rangkaian cerita-cerita tentang guru yang army tersebut, maka saya tergerak untuk cari tahu lebih dalam, apakah memang ada pengaruhnya antara pendidik yang fans berat BTS dengan cara dia mendidik dan berkomunikasi dengan stakeholders sekolah?
Dan inilah hasil pencarian saya: