Kasus kekerasan di lingkungan sekolah masih menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan. Berbagai macam tindak kekerasan yang dilakukan sangat beragam, seperti Bullying, kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan lain sebagainya. Hal itu bisa terjadi karena latar belakang keluarga siswa yang sedang kurang baik-baik saja, iri dengki, pelampiasan amarah, dendam, hingga hanya sebagai bentuk trend mereka berani melakukan tindak kekerasan demi mendapatkan validasi dan julukan "Hebat" dari teman-temannya. kekerasan di lingkungan sekolah bukan hanya terjadi antar teman, fakta menunjukkan bahwa juga banyak kekerasan tersebut dilakukan oleh murid terhadap guru. Hal itu sangat disayangkan, dalam lingkup sekolah tentu yang diusung paling pertama adalah seorang guru, bagaimana peran guru dalam menanggapi dan mengatasi kekerasan di lingkungan sekolah. Perlunya penekanan terhadap peserta didik tentang dampak buruk dari kekerasan serta nilai-nilai yang harus diteguhkan pada setiap peserta didik.
Jika hal tersebut masih sering terjadi apakah peserta didik sudah bisa dikatakan merdeka dalam melakukan proses pendidikan? Sistem serta strategi dari kurikulum merdeka yang dicanangkan oleh pemerintah cukuplah baik untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, namun masih sering ditemukan bahwa warga sekolah masih kurang optimal dalam menjalankannya.
Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan yang merdeka adalah pendidikan yang meletakkan unsur kebebasan terhadap peserta didik dalam mengatur dirinya sendiri, bertumbuh dan berkembang menurut kodratnya, yakni kodrat lahiriah dan batiniah. Sependapat dengan apa yang dituturkan oleh Ki Hajar Dewantara, namun kebebasan dalam mendidik dan dididik di sini masih disalah artikan. Ki Hajar Dewantara tidak akan lupa menjunjung sistem among yang diperuntukkan oleh guru kepada siswanya. Jika guru telah menerapkan sistem among kepada seluruh siswanya dengan baik, maka juga akan terjadi penekanan kasus kekerasan di llingkungan sekolah.
Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa istilah "among" atau "ngemong" lebih diperuntukkan ke sikap menuntun, mengingat bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Nilai budi pekerti adalah nilai yang sangat penting untuk kelangsungan kesejahteraan di lingkungan sekolah. Nilai itu lahir bisa dari beberapa faktor, seperti faktor keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat sekitar, dan lain sebagainya. Paling utama untuk menumbuhkan nilai budi pekerti dan karakter yang baik adalah bisa dari lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah.
Orangtua akan senantiasa menuntun dan memberikan contoh konkrit kepada anak tentang bagaimana untuk berperilaku baik terhadap sesama dan menghindari perilaku buruk yang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Tak lain halnya dengan guru di sekolah, sebagai pendidik harus menuntun dan memantau segala perkembangan anak-anak dalam melakukan kegiatan-kegiatan sekolah.
Murid akan menganggap bahwa guru di sekolah adalah panutan yang harus mereka teladani. Oleh karenanya, sekolah adalah rumah kedua untuk mereka dalam berproses untuk membentuk watak dan budi pekerti yang baik. Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara "Watak dan Budi Pekerti merupakan kodrat manusia, sehingga kita sebagai pendidik perlu memahami kodrat itu dan dapat mendampingi tumbuhnya kecakapan budi pekerti murid dalam kegiatan pembelajaran-pembelajaran yang dialaminya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H