Ada sementara kalangan yang secara serampangan menyamakan aksi 98, dua puluh satu tahun yang silam dengan aksi 22 Mei yang baru saja berselang. Di antara yang mengiraskan itu (jika benar adalah twitannya) adalah Gadis Arivia.
Si gadis manis yang juga Tokoh Femenis itu, menyamakan bahwa di tahun 1998 ada demo Suara Ibu Peduli, sementara di bulan Mei 2019 ada "Suara Emak-emak". Dulu katanya: "siaga satu tembak di tempat, sekarang siaga anjing, gigit di tempat". Lalu ditutup dengan pernyataan nyelekit "otak dulu dan sekarang ternyata sama."
Boleh jadi twitan Gadis itu (sekali lagi jika benar twitannya) tidak betul-betul mempersamakan secara utuh antara aksi 98 dan Mei 2019. Siapa tahu Gadis hanya melihat kesamaan itu pada penanganan aksi yang beti (beda tipis), dalam ukuran Gadis tentunya.
Mana tahu pula, twitan Gadis juga hanya ingin menampakkan diri bahwa doi tetaplah kritis. Kendati ada juga orang, karena ingin kelihatan kritis, pernyataannya selalu mendungukan yang lain, terlihat ironi dan sering membuat kita miris.
Tetapi jujur, saya terganggu dengan kalimat pada 1998 ada "suara ibu-ibu peduli" dan di Mei 2019 ada "suara emak-emak". Betul, keduanya sama-sama ibu-ibu yang melancarkan protes, tetapi dengan terang kita bisa lihat latar belakang protesnya itu, mengutip Ari Wibowo (penyanyi Bill Board yang bagi generasi milineal pasti ngak kenal hehe...), "terlalu jauh berbeda."
Dari sinilah saya ingin mengudarkan mengapa aksi 98 itu beda jauh dari aksi Mei 2019, ibarat bedanya api dan air....atau umpama tidak miripnya Avenger dan Justice League.
Pertama, beda latar belakang. Pada aksi Mei 2019 ini, di mana ada suara emak-emak pula di sana, terang terlihat, latar belakangnya adalah soal dukung-mendukung dalam politik electoral.
Suara emak-emak tersebut beberapa saat sebelum aksi Mei 2019, sudah sangat kencang mendukung salah satu calon presiden. Di bawah komando ustazah Neno Warisman, mereka giat menyuarakan Ganti Presiden.
Gerakan ganti presiden itu didentumkan, karena mereka punya calon yang lain. Boleh jadi dalam isu 'Ganti Presiden' itu, ada semangat melakukan kritikan terhadap rezim yang berkuasa karena kebijakan yang tidak tepat, tetapi semakin mendekati hari H pemilihan, ungkapan Ganti Presiden semakin jelas sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu calon.
Ketika dalam proses electoral, calon yang didukung tidak mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, kekecewaan pun semakin menggigit dan massa pun dikonsolidasi. Berkali-kali seruan people power, yang kemudian berubah menjadi gerakan kedaulatan rakyat melambung ke angkasa. Seruan ini disambut pendukung. Aksi pada tanggal 21-22 Mei 2019 betul-betul terjadi. Aksi protes dengan asumsi adanya kecurangan dan ketidakadilan dalam pemilu.
Aksi semacam ini lazim saja dalam beberapa pemilu yang terjadi, khususnya Pemilukada. Biasanya dilakukan oleh pendukung yang kecewa karena jagoannya kalah. Karena itu sejauh dilakukan dengan cara-cara yang sesuai aturan, aksi ini selain biasa saja, sah keberadaannya. Sayangnya aksi 21-22 Mei kemarin itu disusupi provokator dan berubahlah menjadi kerusuhan (saya berhusnu dzan, tentu bukan itu keinginan dari para peserta aksi yang sejati).