Lihat ke Halaman Asli

Syamsurijal Ijhal Thamaona

Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Daeng Leo dan Warungnya

Diperbarui: 5 April 2021   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ingin melihat leburnya kelas sosial di Makassar? Bertandanglah ke warung ini. Mau melihat secara nyata praktik neo liberalisme? Berkunjunglah ke sini. Aneh kan ? Warung ini ada bau-bau komunisnya, karena semua kelas sosial menjadi sama rata sama rasa. Tapi sekaligus juga, lamat-lamat tercium praktik neo liberal, karena harga ikan bakarnya begitu tidak menentu, sangat tergantung harga pasar  bahkan tergantung suasana hati sang pemilik warung.

Itulah warung daeng Leo. Teronggok begitu saja di sisi jalan Pettarani. Saban hari, pusparupa orang datang kesini. Dari kaum borju sampai proletar, dari pimpinan perusahan hingga satpam, dari pengendara mobil mewah sampai sopir truk. Ada kuli, ada pula orang sugi' (kaya). Termasuk ada pegawai kantoran, aktivis, mahasiswa dan juga, tentu saja ada pula saya. Cara makan pun beragam. Ada yang duduk rapi dengan menggunakan sendok; pelan anggun, bak puteri raja. Merekalah golongan jaim dan merasa syantiiip... Ada yang duduk dengan kaki diangkat.  Sebagian yang lain menyuap dengan tangan, cepat dan berbobot. Itulah golongan maraja timpu na marepe' (suapan besar dan cepat).

Mereka lebur dalam satu komune. Sama rata, karena sang pemilik warung memperlakukan sama, yaitu perlakuan yang sangat biasa. Tidak ada penghormatan palsu. Bahkan sang pemilik warung, lelaki tua yang bernama daeng leo, tak segan menegur dengan polos jika sikap pengunjung warung tidak berkenan dengan hatinya. Begitulah yang menimpa sahaya. Suatu saat, saya sedang makan, seseorang tetiba menelpon ....lalu saya pun sibuk berbicara. Tak dinyana, tak disangka, saya tersedak. Spontan daeng leo menegur: "makanya kalau makan pak jangan bicara dulu!" ucapnya polos.

Sama rasa, karena pasti semua pengunjung akan berselimut asap dan setelah keluar dari warung itu akan berbau asap.

Tapi saat kelas sosial sudah lebur dan sedikit lagi warung itu menuju masyarakat sosialis komunis, Daeng leo justru menerapkan harga ikan bakar yang tak pasti. Kalau Anda protes harga pertalite atau pertamax yang tak menentu karena ikut harga pasar, maka di warung daeng leo harga yang tidak pasti itu betul betul mencekam. Jam 12 ke tempat itu, harga bisa 20 rb, tapi sejam kemudian bisa berubah 25 ribu. Atau si A bisa dapat harga 25 rb, tapi si B harga 20 rb. Padahal si A dan si B ini satu geng...hihi...mungkinkah daeng leo memberlakukan harga sesuai dengan naik turunnya harga ikan di pasar, harga cabe, dan harga terasi ? Tidak ada yang tahu persis. Boleh jadi juga disesuaikan dengan suasana hatinya, mana tahu? Tapi itu kan cermin harga yang ikut pasar ya? Ciri ciri neo lib sodara-sodara.

Suasana yang demikian itulah yang justru menjadikan warung daeng leo lekat di hati. Penggemarnya tak bisa melupakan kontradiktif yang mencengangkan ini. Tapi bukankah itulah cerminan hidup? Hitam dan putih, benar dan salah, yin dan yan....selalu menyertai kehidupan ini bukan?

Tentu saja selain kontradiktif itu, warung dg Leo memikat karena suguhannya.  Ikan bakarnya rasanya dahsyat. Walau dibakar dengan alat sederhana, menggunakan arang dari sabuk kelapa, namun rasanya tak kalah dengan makan di restoran harga selangit. Justru dengan cara memasak daeng leo yang ala rumahan itulah yang membuat rasa masakannya sangat akrab di lidah. Dan yang pasti saya jamin, dari sekian warung ikan bakar yang pernah saya datangi di makassar inilah yang termurah.  

Berkunjung ke Makassar, jangan lupakan warung daeng Leo...

pak-tarjo-02-large-5b55326ebde5750a1d4370f3.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline