Orangnya jenaka. Dalam usianya yang sudah menjelang 70 tahun itu, Ia masih terlihat cergas. Tugasnya sebagai doja di mesjid Baiturrahman Kindang dilakukan dengan cekatan. Bila masuk waktu azan, Ia akan bergegas memukul beduk yang tergantung di pojok Mesjid. Pukulannya khas. Seluruh penduduk kampung akan segera tahu, jika yang memukul beduk itu adalah doja Badollahi. Ya...! demikianlah namanya; 'Doja Badollahi'. Doja adalah gelar untuk seorang marbut mesjid.
Seingatku, sebelum saya ke kota melanjutkan kuliah, Badollahi telah menjadi doja di mesjid Baiturrahman ini. Tetapi saat itu aku tidak pernah mengacuhkannya. Mungkin kala itu, Ia hanyalah orang biasa dan sangat terbiasa pula dicampakkan dari perhatian orang-orang, termasuk dari perhatian saya.
Namun sejak saya kembali ke kampung ini bersama Ustaz Abu Jaropi, saya mulai sering mengamatinya. Mencerap tingkah polanya yang jenaka tapi sederhana. Menilik cara Ia memukul beduk, menyimak saat Ia azan dengan suaranya yang serak-serak parau atau mendengar Ia melantunkan syair i'tirafnya Hasan bin Hani yang kita lebih kenal dengan nama Abu Nawas.
Tetapi ada satu hal yang paling membetot perhatian saya. Sarung dan kopiah yang dipakainya. Sarung warna biru tua sudah terlihat lusuh. Begitu pun kopiah yang senantiasa bertengger di kepalanya, usang dan warnanya telah berubah kekuning-kuningan. Jika sarung biru tua, sesekali diganti, maka kopiah usang kekuning-kuningan itu saban hari nemplok di kepalanya.
Salat subuh; kopiah yang sama. Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya juga kopiah yang tak berbeda. Tempo-tempo dengan pasangannya, sarung biru tua. Bahkan dalam acara Maulidan, Idul Fitri dan perayaan keagamaan lainnya, kopiah usang dengan pasangannya sarung biru tua yang lusuh, setia menemaninya.
Saya pikir doja Badollahi melakukan hal itu karena dia tidak memiliki kopiah dan sarung lainnya. Maka di suatu senja yang mulai dipeluk dinginnya udara Kindang, saya bermaksud menemuinya. Biasanya senja begini, doja Badollahi sudah ada di mesjid. Tak lupa saya bawakan satu sarung baru dan juga kopiah. Kopiahnya tidak baru, tapi masih sangat layak pakai. Saya mengambil kopiah ayah yang hampir tidak pernah dipakainya. Ayahku sendiri langsung setuju begitu saya katakan bahwa kopiah itu untuk doja Badollahi.
Saya tiba di mesjid Baiturrahman saat doja Badollahi tengah menyapu halaman mesjid. Seperti biasa saat menyapu halaman seperti itu, mulutnya kerap menyenandungkan syair al-i'tiraf. Jika dia telah menyapu halaman mesjid, berarti bagian dalam mesjid itu pasti sudah asri berseri. Begitulah saya liat selama ini doja Badollahi dalam mengurusi mesjid Baiturrahman.
"Tata Badollahi..." Sapa saya begitu sampai di halaman mesjid itu. Tata adalah sapaan untuk seorang paman.
Mendengar ada yang memanggilnya, doja Badollahi spontan berhenti menyapu. Kepalanya berpaling ke arahku. Selarik senyum segera menghiasi pipinya yang dipenuhi kerut-merut. Matanya menyipit lucu.
"Eh..anak gagayya...." timpalnya dengan godaan khasnya, "anak yang gagah." Saya hanya tersenyum.
"Tata..." kataku melanjutkan percakapan sambil mengangkat sarung dan kopiah yang saya bawa. Doja Badollahi mengamati dua benda yang saya angkat itu.