Mungkinkah tulisan ilmiah (Laporan Penelitian, Disertasi, Jurnal) ditulis dengan gaya sastrawi? Kalau saya yang ditanya, saya akan bilang bukan hanya mungkin tapi penting.
Bukankah selama ini betapa banyak karya-karya ilmiah yang bertumpuk di perpustakaan, lapuk dan dimakan rayap tanpa pernah disentuh oleh pembaca? Bahkan dengan guyon Gusdur pernah bilang;
"Andaikan makalah-makalah dan karya ilmiah dikumpul dan disusun, mungkin sudah sundul langit dan Anda bisa ke bulan hanya dengan menitinya saja".
Karya ilmiah yang tidak bisa diterapkan dan mungkin tidak menarik bagi pembaca nasibnya akan seperti kata Gusdur itu. Ya....! Anda boleh bilang, biang keroknya karena tradisi literasi masyarakat Indonesia yang sangat rendah, tapi saya juga bisa bilang karena sajian dari karya ilmiah itu terlalu cengkar.
Demi untuk kebutuhan dianggap ilmiah, tulisan yang bertema karya ilmiah itu biasanya tabu untuk memasukkan hal-hal yang bersifat sastrawi, misalnya puisi atau cerita-cerita fiksi. Jadilah tulisan tersebut hanya dipenuhi dengan kutipan teori dan bahasa canggih (karena banyak memilih diksi asing).
Semakin banyak teori atau kutipan dan semakin banyak diksi asingnya, maka semakin dianggap ilmiahlah tulisan tersebut. Beberapa jurnal bahkan mempersyaratkan batas minimal yang harus dikutip.
Maka jangan coba-coba menulis ilmiah dengan gaya sastrawi, Anda bisa diceramahi apa itu karya ilmiah dan yang mana karya sastra (fiksi) serta distingsi (wow...pake istilah asing nich...) antara keduanya.
Benarkah masih harus dibedakan antara karya ilmiah dan karya sastra (yang dianggap fiksi) secara tegas? Benarkah pula bahwa yang ilmiah itu harus selalu mengutip teori dan dipenuhi dengan diksi asing?
Kita jawab dulu yang kedua. Ilmiah sebenarnya bukan soal banyaknya kutip-mengutip teori, apalagi soal menyajikan kata-kata yang banyak leksikon asingnya. Ilmiah ya....aktivitas mengumpulkan data dengan metode yang jelas serta kemampuan memerikan data dengan argumentasi yang logis. Bisa juga ditambah, karya semakin ilmiah, jika semakin bermanfaat bagi masyarakat.
Soal nanti cara menulisnya sastrawi, misalnya mengambil cerita fiksi atau bahkan menyelipkan puisi, bukanlah menjadi ukuran tulisan itu dianggap tidak ilmiah. Yang penting, itu tadi, data jelas dan argumentasi masuk akal.
Kalau kita cermati penulis ilmiah ternama, semacam Amartya Sen yang pernah mendapat Nobel atas karya-karya ilmiahnya itu, dengan santai menyelap-nyelipkan puisi atau cerita-cerita fiksi dalam karya ilmiahnya. Tengoklah! kalau tidak percaya, karyanya Identity and Violence. Prolognya dimulai dengan mengambil syair dari Mathew Arnold, 'Dover Beach':