Perempuan berusia lanjut itu dengan cekatan mewalakkan nasi di atas beberapa piring. Meski senja telah menyungkupi tubuhnya, namun kegesitan tak sirna dari dirinya. Dengan cekatan piring-piring yang telah berisi makanan tersebut diletakkan di tengah rumah. Posisi di mana makanan tersebut disajikan tak jauh dari sepasang dapur.
Sesekali mulutnya berkomat-kamit. Mantra-mantra dipanjatkan. Sebelum akhirnya makanan yang sudah tersaji di atas piring itu diserahkan pada beberapa orang laki-laki dan perempuan. Orang-orang inilah kemudian yang mengangkatnya kemudian menghidangkannya berjejer sepanjang ruangan yang jembar di rumah adat tersebut.
Demikian semuanya sudah cawis, perempuan yang lanjut umur ini lantas memberikan isyarat 'hidangan sudah boleh disantap'. Maka Puang Tumatoa (Sesepuh adat di tempat itu) dan Galla (Ketua Pelaksana Adat) mempersilahkan orang-orang yang hadir untuk menyantap makanan.
Siapakah perempuan sepuh itu? Mengapa dalam acara makan, pada acara adat itu sosoknya terlihat sentral. Makan adat secara bersama tak dimulai sebelum makanan disajikan olehnya dan jika doa-doa belum terucap dari mulutnya.
Perempuan tua ini dikenal sebagai Sanro dalam struktur adat di Karampuang. Daerah ini adalah satu lokasi yang dihuni oleh komunitas adat yang dikenal dengan komunitas Karampuang. Komunitas ini berada di desa Tompobulu kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai.
Peran sanro yang bernama Puang Jenne binti Tampa ini tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam berbagai acara adat yang lain dialah yang menjadi penghubung spiritualnya. Bahkan dalam acara Ammanre Ase Lolo ("makan beras baru"), acara adat setelah panen padi, yang pertama turun dari rumah adat dan menjejakkan kakinya di tanah adalah sanro ini. Jika kaki perempuan ini sudah menjejak tanah, pertanda padi bisa dipanen dan setelahnya upacara ammanre ase lolo segera dilangsungkan.
Sejatinya keberadaan perempuan di komunitas Karampuang ini sama halnya dengan perempuan lain di masyarakat kampung. Sehari-hari mereka adalah ibu rumah tangga. Bekerja di dapur, mencuci di sumur dan berkutat di kasur atau hanya mengantarkan makanan untuk suaminya di sawah.
Tidak banyak dari mereka yang menempuh pendidikan tinggi-tinggi (jangan salah paham, bukan berarti saya tidak setuju perempuan sekolah tinggi-tinggi). Ketika saya datang ke tempat ini, yang saya tahu, sosok yang telah menempuh pendidikan sampai tingkat SMA adalah seorang gadis menawan. Namanya, tak usah disebut di sini, tapi saya pernah menjulukinya 'Bunga Karampuang'.
Singkat kata mereka adalah perempuan-perempuan yang berputar di wilayah domestik. Satu area, oleh kalangan feminis liberal dipersepsi sebagai ruang penindasan laki-laki.
Tetapi, tak demikian halnya dengan perempuan Karampuang, ruang domestik mereka adalah ruang terhormat. Dari dapur, semua hal ditentukan. Dari bilik kamar perempuan, mabbahana (musyawarah adat) dimulai. Dan dalam hal itu, perempuanlah tokoh sentralnya.
Mengapa ruang domestik menjadi begitu sublim dan perempuan menjadi sosok penting di komunitas Karampuang ini? Bagi komunitas Karampuang ruang domestik adalah tempat yang masih kudus sebab masih jarang terjadi hubungan kuasa dengan yang lain. Sementara di luar rumah, tepatnya di ruang publik, relasi kuasa dengan berbagai kalangan acap kali terjadi. Dalam situasi demikian orang mudah terjerembap dalam intrik-intrik, kebohongan, dan dosa lainnya terhadap sesama.