Cerpen berjudul "Gerobak" karya Seno Gumira Ajidarma bercerita tentang seorang tokoh aku, yang dalam cerpen ini disebutkan dengan sudut pandang anak kecil yang lugu dan penuh rasa ingin tahu.
Anak itu tertegun ketika mengamati gerobak-gerobak putih yang berisi manusia memenuhi kotanya. Disebutkan bahwa gerobak-gerobak itu akan menghilang setelah masa lebaran, yaitu setelah selesai menuai sedekah dari orang-orang kota, namun ternyata hal itu tidak terjadi.
Pada akhirnya, di masa setelah lebaran, gerobak-gerobak itu malah kian banyak dan memenuhi sudut kota, parahnya, mereka bahkan sampai menduduki rumah-rumah orang kota.
Di akhir cerita dikisahkan bahwa mereka tidak bisa pulang ke Negeri Kemiskinan dikarenakan negeri mereka telah terendam lumpur yang diakibatkan oleh orang-orang kota tersebut.
Keadaan sosial masyarakat yang carut marut dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul "Gerobak" begitu mengerikan, yang mana hal ini menjadikan sebuah konflik antarkelompok masyarakat.
Dalam cerpen ini secara tidak langsung dijelaskan bahwa manusia gerobak memiliki tingkat keegoisan yang tinggi, dengan label miskin yang dimilikinya, mereka seolah bebas melakukan apa saja tanpa mendapat pertentangan dari masyarakat.
Hal ini dibuktikan dengan keadaan bahwa mereka memanfaatkan bulan ramadhan untuk mencari peruntungan dari belas kasih orang-orang kota. Bahkan mereka menuntut kehidupan layak dengan ketidakmandirian secara berkepanjangan, yang ditegaskan dengan tindakan anarkis ketika mereka merebut rumah-rumah masyarakat kota tanpa izin.
Di sisi lain, masyarakat kota menganggap bahwa manusia gerobak adalah orang-orang berbahaya yang sebaiknya tidak didekati. Selain itu masyarakat kota pada akhirnya cenderung menindas dan mendiskriminasi manusia gerobak hanya karena mereka merasa superior dibanding orang lain.
Cerpen ini bisa menimbulkan banyak persepsi dan penafsiran bagi pembaca. Meski begitu, kita tidak bisa menyalahkan salah satu pihak atau kelompok dalam cerpen tersebut atas setiap peristiwa yang terjadi. Setiap konflik atau situasi mengerikan bukanlah suatu kebetulan, melainkan didasarkan atas masalah-masalah yang terjadi sebelumnya.
Hal ini seharusnya bisa menuntut kesadaran dari setiap orang agar lebih memahami suatu kelompok tertentu tanpa adanya pembatasan atau kesenjangan dalam bermasyarakat. Di dalam cerpen ini juga mengkritik perekonomian dan pembangunan yang tidak merata di seluruh negeri.
Hingga akhirnya, setiap bantuan atau sedekah yang diberikan masyarakat kota terhadap manusia gerobak itu dianggap sebagai suatu keharusan dan merupakan hak mereka. Bahkan mereka merasa pantas marah dan mengomel panjang ketika telat diberikan bantuan.