Lihat ke Halaman Asli

Iis WKartadinata

guru dan pencinta buku

Oneng

Diperbarui: 3 November 2022   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

klik 'ikuti' pada cerbung Kembang Pelakon: 

http://karyakarsa.com/IisWKartadinata

ONENG

IisWK

Setelah selama delapan bulan mendekam di penampungan, akhirnya Oneng berhasil juga diberangkatkan. Resmilah dia jadi tenaga kerja wanita asal kampungku yang bakal mendulang uang real di negeri seribu gurun. Pemikirannya tidak pernah diracuni oleh berbagai kabar tentang nasib malang para TKW. Baginya nasib sudah diatur Tuhan. Dia bebas melakukan apa saja untuk membiayai tiga anak laki-laki dan satu anak perempuannya yang masih berusia satu tahun. Tidak banyak juga cita-citanya, bisa memiliki rumah dan membeli sawah untuk bekal hidup, serta satu sepeda motor untuk Egi, anaknya yang paling tua, yang kini berumur lima belas tahun.

Dua puluh enam tahun yang lalu, aku kenal dia. Kami bersahabat sejak SD waktu di kampungku dulu. Ketika itu kenakalannya kerap membawaku pada nasib sial. Sering dia mengajakku ke kamar kecil di saat pelajaran, padahal cuma menghindari ceramah guru di kelas. Akhirnya sudah tentu kena damprat guru. Mengajak berenang di kali hingga membuatku hampir hanyut kena air yang tiba-tiba datangnya. Atau kulit mendadak gatal oleh kotoran kerbau. Belum lagi sakit perut gara-gara rujak ubi yang kepedasan. Padahal sebelumnya dia memberitahuku agar mengoleskan bumbu rujak ke puser. Katanya supaya tidak sakit perut. Hanya aku tidak percaya. Sialnya, omongan itu benar, dan dia hanya tertawa-tawa ketika terpaksa aku harus pulang balik ke parit kecil dekat kebun jeruknya untuk buang air besar.

Dia juga kerap mengajakku kabur kalau sedang mengaji hanya untuk mengambil buah yang sedang ranum di kebun pak haji Wawa, guru ngajiku yang sesungguhnya adalah adik dari kakekku sendiri. Entah mengapa, meskipun aku tahu tindakan itu membahayakan, aku tetap menurut padanya. Aku tidak tega kalau membiarkannya sendiri. Aku juga selalu merasa nyaman kalau berada dekat dia. Mungkin karena tubuhnya yang lebih besar dariku sehingga aku merasa terlindungi, atau entah apa. Aku juga tidak paham tentang kedekatanku dengan Oneng. Yang jelas, bagiku dia lebih dari seorang teman. Karena waktu itu aku belum paham tentang sahabat atau sejenisnya. Aku selalu menemaninya jajan di sekolah, apalagi kalau belajar, sebagai teman sebangku yang baik aku selalu memberitahu jawaban kalau ada soal-soal yang sulit baginya. 

Sayangnya, dia tidak bisa melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Aku tidak mengerti. Terakhir aku mendengar dari bapakku kalau Wak Mustad, bapaknya, tidak sanggup membiayainya kalau Oneng harus sekolah di kota. Di kampungku memang belum ada SMA waktu itu. Sekarang saja ada, itu pun di kota kecamatan yang berjarak lima kilometer dari kampungku. Setelah keluar dari SMP itulah, aku menjadi sulit bertemu dia. Karena aku harus tinggal di Bandung, di rumah paman, sehubungan tempat sekolahku. Itu memang tradisi seluruh keluargaku dan keluarga lain yang sanggup menyekolahkan anaknya ke sekolah lanjutan atas. Pasti harus meninggalkan kampung setelah usia SMP. Hanya aku kerap mengunjunginya kalau kebetulan libur. Aku juga tetap menganggapnya teman baik yang bisa menjadikanku tempat curhat setelah aku merasa kenal dengan kehidupan di kota. Banyak sekali yang kerap kuceritakan padanya. Tentang segala hal. Kehidupan kota yang sudah tentu tidak pernah tersentuh oleh Oneng.

Empat hingga lima bulan aku masih bisa mengunjunginya kalau pulang kampung. Tapi mencapai bulan keenam, Oneng sudah tidak berada di kampungku lagi. Menurut kakaknya, dia bekerja di sebuah pabrik sepatu di kota Bandung. Aku sempat meminta alamatnya. Tapi karena kesibukanku sebagai anak sekolah, aku belum sempat mengunjunginya. Hingga kabar berikut dan berikutnya Oneng sudah pindah kerja ke pabrik lain sampai beberapa kali. Praktis, aku sudah sulit sekali menjangkau kabarnya. Kabar terakhir, Oneng sempat menikah dengan seorang laki-laki. Dan tidak kuduga, dia menikah dengan saudaraku sendiri. Tidak lain anak pak ustad Wawa, Agus. Anehnya pernikahan itu hanya berlangsung beberapa hari. Terakhir baru kuketahui kalau pernikahan itu karena Oneng mengandung! Sungguh di luar dugaan.

            Dia sempat menjadi kembang di kampungku. Meskipun wajahnya masih kalah dengan anak pak lurah. Tapi dia pandai bergaul. Kabar terakhir, dia menikmati pernikahannya yang keenam kali dengan empat anak di pangkuannya. Tentu saja dari ayah yang berbeda. Malah terakhir, setelah dia berangkat ke negeri kurma, dia tinggalkan anak bungsunya yang perempuan dengan sang madu, istri pertama dari suaminya yang tidak punya anak. Entah di mana anak yang lainnya.

            Pertemuanku dengan anak pertamanyalah yang membuat aku ingat cerita ini. Sekarang anak laki-laki itu sudah hampir bujangan. Tapi dia tampak berbeda dengan Oneng. Dia kulihat pakai sarung dan peci untuk sembahyang. Ega, anak pertama Oneng menjadi anak pesantren di daerah yang tidak jauh dari kampungku. Pasir Nangka. Tempat itu bisa ditempuh dengan jalan kaki hanya setengah jam. Bahkan aku sering lewat kalau pulang kampung. Aku tidak menyangka, sahabatku telah melahirkan anak empat orang. Padahal usianya baru menyentuh tiga puluh dua tahunan. Sementara aku baru memiliki satu anak dari satu suami pula

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline