Kampung Para pencuri
Cerpen Iis W. Kartadinata
Awalnya Legok Badog adalah kampung yang ramai. Penduduknya hidup normal. Tanpa helaan nafas lelah dari manusianya. Ada adat saling memberi. Juga saling memahami kebutuhan satu sama lain. Setiap orang di kampung Legok Badog bebas menikmati apa pun yang bisa dinikmati.
Miliknya sendiri maupun milik orang lain. Jika seseorang kehabisan makanan, pakaian, bahkan keperluan lain yang lebih mewah, dia bisa mengambil dari orang lain dengan diam-diam. Pemilik sah dari harta yang diambil pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena dia sadar kekayaannya pun tidak murni miliknya. Dalam arti bukan murni hasil jerih payahnya. Jadi semua penduduk bisa memenuhi kebutuhannya, sepanjang dia bisa melakukannya.
Tapi kali ini berbeda. Kampung itu mulai sepi. Kabarnya hampir sepertiga dari mereka eksodus ke kampung lain yang jaraknya kira-kira empat puluh kilometer dari Legok Badog. Kampung baru itu bernama penjara. Eksodus itu terjadi karena kegiatan pencurian yang dilakukan oleh mereka sudah mencolok sehingga tercium aparat kepolisian.
Meskipun mereka membela diri dengan alasan pencurian itu dilakukan secara suka sama suka. Hukum harus berjalan. Sehingga mereka dipenjara tanpa proses peradilan. Keberangkatan mereka ke penjara mirip dengan kegiatan pariwisata karena dilakukan dengan iring-iringan bus ber-ac.
Ada hal yang ganjil. Jika orang-orang kampung semua eksodus ke penjara, salah satu tahanan dengan kasus yang sama malah sudah diperbolehkan pulang. Laki-laki itu bernama Sarkawi. Pemuda desa yang ketahuan mencuri. Satu tahun Sarkawi dipenjara.
Waktu itu Sarkawi mencoba mencuri uang di balik meja teller bank. Hanya dengan modal sebilah golok dia mengancam gadis muda untuk menyerahkan uang. Sayang, Sarkawi memiliki darah muda yang bergolak lebih ke hal yang mengarah kenormalan yang lain.
Uang menjadi nomor dua dibandingkan dengan mata gadis itu. Gadis manis itu membuat Sarkawi hanya tertegun dengan bibir mencungap. Kelemahan Sarkawi dimanfaatkan petugas satpam untuk menelepon polisi.