Pada tahun 2024, media sosial diramaikan oleh fenomena penggunaan huruf kapital yang dinilai berbeda. Hal ini dapat dilihat pada akun-akun populer seperti Folkative. Contoh paling mencolok adalah penggunaan all caps seperti komentar, "INI KONTEN PALING GOKIL!!!". Hal itu dilakukan untuk mengekspresikan emosi yang kuat. Sementara itu, ungkapan seperti "sAyA bEnAr-BeNaR sEtUjU" menggunakan gaya random caps. Itu digunakan untuk menampilkan estetika humor. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana Generasi Z memanfaatkan huruf kapital sebagai ekspresi diri sekaligus menentang aturan baku di ruang digital. Dengan demikian, peristiwa tersebut menggambarkan perubahan pola berbahasa yang lebih menenaknkan pada eskpresi pribadi dan visual daripada sekadar menaati aturan linguistik baku.
Pengamatan ini sejalan dengan proyek e-book saya yang berjudul, "Huruf Kapital dan Generasi Z: Antara Ekspresi Diri dan Aturan Baku". E-book tersebut membahas penggunaan huruf kapital sebagai alat ekspresi visual. Fenomena ini menggarisbawahi pentingnya memahami perubahan fungsi bahasa di media sosial. Hal ini sesuai dengan laporan bacaan saya mengenai perkembangan bahasa Indonesia di era digital. Gaya penulisan baru ini menunjukkan bagaimana Generasi Z mengadaptasi kebutuhan komunikasi yang lebih emosioal dan visual. Penggunaan huruf kapital ini mewakili perubahan bahasa yang lebih kreatif dan fleksibel.
Penggunaan huruf kapital di Instagram dapat dijelaskan melalui teori fungsi bahasa Jakobson (1960). Kalimat all caps seperti "INI KEREN BANGET" mencerminkan fungsi emotif, yaitu penggunaan bahasa untuk menonjolkan emosi. Sementara itu, gaya random caps seperti "iNi sErIuS lUcU!" menunjukkan fungsi estetis karena variasai visual dapat menciptakan daya tarik dan memperkuat makna emosional. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa huruf kapital tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga menjadi bagian dari konstruksi identitas sosial.
Menurut teori Barthes (1977), huruf kapital bukan sekadar tanda liberal. Namun, tanda konotatif untuk menyampaikan makna tambahan. All caps digunakan untuk menonjolkan antusiasme atau kemarahan. Sementara itu, random caps sering kali ditujukan untuk menciptakan ironi atau humor yang mendukung ekspresi budaya Generasi Z. Penggunaannya cenderung menandakan bahwa pesan yang disampaikan tidak terlalu serius. Hal itu kemudian menciptakan ketegangan antara konteks formal dan informal dalam komunikasi digital. Media sosial telah mengadaptasi gaya dan norma baru yang semakin sulit dipahami dalam kerangka aturan bahasa yang baku.
Berbeda dengan Barthes, pendekatan linguistik preskriptif memandang fenomena ini sebagai pelanggaran kaidah. Namun, pendekatan deskriptif justru melihatnya sebagai inovasi linguistik yang merespons kebutuhan komunikasi digital. Dengan memahami penggunaan huruf kapital sebagai alat ekspresi diri, kita dapat melihat fenomena tersebut telah membentuk identitas kolektif Generasi Z di media sosial. Bahasa berkembang seiring dengan dinamika sosial dan budaya digital. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian dari kaidah yang ada untuk tetap relevan.
Fenomena huruf kapital oleh Generasi Z menggambarkan perubahan bahasa di era digital. Bahasa tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi juga menjadi sarana untuk ekspresi visual dan emosional. Oleh karena itu, kreativitas ini perlu diapresiasi. Namun, kita juga harus menghormati kaidah bahasa agar komunikasi tetap efektif di berbagai konteks. Walaupun bahasa terus berkembang, kaidah yang ada tetap memiliki peran penting dalam menjaga kejelasan komunikasi yang bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H