Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Kasih Amai

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor Peserta 344

Amai. Begitu kumemanggilmu. Anak-anak yang lain mungkin memanggil ibunya dengan sebutan mama, amak, atau pun bunda. Tapi, dirimu mengajarkanku memanggil amai. Apa ini karena tradisi di kampung kita atau bagaimana? Aku pun tak mengerti. Tapi yang pasti aku bahagia hidup berdua denganmu. Di desa yang masih belum banyak dihuni oleh manusia. Kita memang tinggal di kampung nak, tapi kita bukan kampungan.

Amai, aku sangat menyayangimu. Amai, anakmu rindu ingin bertemu. Hari ini aku sangat sedih, Mai. Aku ingin kau ada disisiku. Aku merindukan saat kita bersama dulu. Kemana pun kau selalu menemaniku. Meski pergi ke rumah teman yang jaraknya tidak jauh dari rumah kau tetap ada di sampingku. Kau sangat mengerti dan paham akan diriku yang tak mau kemana pun tanpa dirimu. Maafkan anakmu, Mai. Bukan maksudku untuk merepotkanmu. Tapi aku hanya ingin menghabiskan sisa-sisa hidupku hanya denganmu. Apakah aku hanya hidup hingga hari ini, esok, lusa atau bahkan lima puluh tahun nanti aku ingin tetap bersamamu. Aku tak bisa membayangkan bila harus hidup tanpamu. Hanya engkau satu-satunya keluarga yang aku miliki. Kau membesarkanku dengan kesabaran dan penuh kasih sayang yang melimpah. Kini aku telah menjadi bocah ingusan yang telah menduduki kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah—setara dengan SD.

Namun begitu, aku mungkin tidak menjadi anak yang baik dan patuh bagimu. Disaat kau meminta pertolongan, aku seringkali menolak. Aku paling tidak suka jika kau menyuruhku mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci piring, menyapu rumah, bahkan untuk mencuci pakaianku sendiri, aku enggan. Namun kau tak pernah marah padaku. Kau mengalah, Jika tak segera kulakukan, kau yang mengerjakan sendiri. bialah dapek nilai lapan pado sapuluah, bialah bajalan pado manyuruah (lebih baik dapat nilai delapan daripada nilai sepuluh, lebih baik kita yang jalan dari pada menyuruh. Kalimat itu yang sering kudengar.

Apakah kau tau, amai? Seringkali aku terluka dengan kesabaranmu itu. Kau terlalu lembut mengajariku. Tak pernah marah. Tapi aku tetap saja malas-malasan di rumah. Aku bahkan heran melihat teman-teman yang selalu dimarahi ibunya hingga aku takut main ke rumah mereka. Sedangkan amai? Tak pernah melontarkan satu kata pun yang bisa menyakiti persaanku. Padahal aku selalu menyakitimu dengan tidak menuruti perintahmu.

Amai, aku juga minta maaf. Aku terlalu malas untuk bangun pagi. Sehingga aku harus tergesa-gesa pergi ke sekolah. Ujung-unjungnya kaulah yang akan jadi sasaran kemarahanku dikala ada barang-barangku yang tidak bertemu. Buku-ku lah yang hilang, pena, dasi atau topi yang wajib dipakai setiap hari Seninuntuk upacara bendera. Padahal semua itu salahku. Tapi kamu tetap menolong mencari barang-barang yang tak tahu entah dimana kuletakkan sepulang sekolah. Kau tetap sabar menghadapi tingkahku yang sembrono itu.

Aku tau, telah menyusahkan Amai tiap pagi, padahal beliau harus melayani pembeli di warung. Amai jualan kecil-kecilan di rumah. Amai menjual lontong mi dan sarabi di pagi hari, serta snack kecil-kecilan dengan harga lima ratusan. Banyak bapak-bapak yang sarapan disini sepulang shalat shubuh. Amai harus tau, meski pun anakmu ini bandel dan suka marah-marah tak karuan, aku sangat menyayangimu. Aku selalu menemani Amai membuat makanan ini setiap malam. Jam berapa pun amai tibu tidur akan tetap kutemani.

“Sudahlah, Ci, kamu tidur saja nak, besok kan sekolah,” ibu tak tega melihatku yang sudah ngantuk berat begadang menemaninya.

“Gak mau, Cici mau disini sama, Amai,” aku tak pernah meninggalkan amai sendirian. Bagaimana kalau nanti Amai jatuh? Ditambah lagi Amai rematik, desa tempat tinggalku pun sangat dingin. Kalau tiba-tiba kaki amai sakit, dan beliau terjatuh? Aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Begitu banyak hal yang aku khawatirkan tentang beliau.

Amai, aku akan selalu ada disampingmu, tak akan pernah meninggalkanmu. Aku sangat menyayangimu. Aku menatap wajah lelah amai yang telah berbaring di tempat tidur. Aku memeluk amai dan menyurukkan kepalaku kedadanya. Kalau tidak begitu aku takkan pernah bisa tidur. Aku takut kalau nanti amai pergi meninggalkanku. Kalau amai sudah kupeluk, maka beliau takkan pernah bisa pergi dariku. Begitulah pikiranku kala itu. Maklumlah, namanya anak-anak.

Aku sangat bahagia hidup denganmu, kelembutan dan kasih sayang yang dicurahkan padaku takkan pernah bisa kubalas. Ketika kuberkelahi dengan teman, dan pulang untuk mengadu ke rumah, amai selalu membujukku dengan buah. Hingga suatu hari aku mencari pohon dalam kamar amai. Dimanakah beliau menyimpan batang apel, pir, dan jeruk itu? Amai selalu memberi buah itu padaku kala menangis. Tapi hingga kini aku tak pernah menemukan batang itu di kamar amai. Aku juga sering membangga-banggakan kalau amai punya batang apel di rumah—kamar—meski aku tak pernah menemukannya. Hingga aku diolok-olok teman sepermainan. Tapi aku bertekad suatu saat pasti akan menemukan tempat penyimpanan amai. Dan sekaranglah baru bisa kutemukan jawabannya ketika aku sudah dewasa.

Namun, bahagia itu tidak selamanya aku rasakan. Saat aku menduduki kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah amai memindahkanku sekolah. Aku sekarang sudah tidak tinggal dengan amai lagi. Amai mengirimku ke rumah ayah. Ayah yang selama ini tidak pernah hidup denganku. Aku harus berpisah dengan amai. Amai meninggalkanku. amai tidak lagi memperdulikan tangisanku. Amai pergi. Sedangkan aku harus tinggal disini. Di kota tempat ayah tinggal.

“maafkan amai, Nak. Kamu akan bahagia dengan ayah dan keluargamu yang baru”

“Amai, Ci ikut dengan amai,,, a..a..ammai..am..mmai”

“saying, kamu gak boleh gitu nak. Jangan nakal. Amai harus pulang. Rumah kita gak ada yang jagain di kampung” Amai memelukku. Membelai rambutku.

“Amai, Cici janji gak akan nakal lagi mai, cici akan meletakkan barang-barang pada tempatnya sepulang sekolah. Tapi amai jangan tinggalin cici disini. Cici akan ngikutin semua kata-kata Amai, mencuci piring, beresin rumah dan…” aku tak sampai mengucapkan kata-kata yang sudah tak jelas keluar dari mulutku itu. Segera Amai melepas pelukannya danberlari ke jalan raya meninggalkanku dihalaman rumah. Aku mengais-ngais tanah dengan kaki sambil duduk di halaman. Seperti yang biasa kulakukan ketika aku ditinggal dan ngambek dengan amai dirumah. Napasku hampr habis. Aku tersedu-sedu tak bisa menahan sakit. Sakit ditinggal amai.

Hingga suaraku habis dan tak bisa menangis lagi. Amai tak mempedulikan teriakanku memanggilnya. Aku sesenggukkan. Aku berusaha mengejar namun tak bisa karena pegangan tangan ayah sangat kuat ditubuh mungilku. Ayah pun tak bisa menahan aliran air matanya. Ibu tiriku pun gagal membujuk. Seakan dunia hari ini bersedih untukku. Aku tak bisa menerima semua ini. Aku mau amai, yang kuinginkan hanyalah amai. Kenapa amai meninggalkanku disini. Aku tak ingin hidup dengan ayah. yang aku inginkan hanyalah amai.

“Sudahlah nak, kamu disini saja dulu, nanti habis lebaran amai pasti akan menjemputmu” ayah dan ibu tiriku membujuk.

“Tidak, jangan bohongi Cici,” tidak mungkin aku akan dijemput lagi kesini. Mereka pikir aku anak kecil yang bodoh. Bisa dibohongi dengan bujukan-bujukan palsu mereka. Mana mungkin aku akan dijemput kalau surat kepindahan sekolah sudah diurus amai tanpa sepengetahuanku. Amai memang jahat.

Aku benci amai, aku kecewa dengan amai. Amai bilang kita hanya silaturrahmi sebentar kerumah ayah karena aku punya dedek baru disana. Tapi kenyataannya aku ditinggalkan. Amai sekarang sudah tidak menyayangiku. Aku benci amai. Aku benci.

Amai, sesungguhnya aku masih merindukanmu. Seringkali kau datang dalam tidurku. Apa disana kau juga mengalami hal yang sama? Ah. Tidak mungkin. Toh kau sudah meninggalkanku disini. Aku disini hidup tak sebahagia ketika bersamamu meski ibu baruku baik. Berbeda dengan ayah. Aku benci ayah dan adik-adikku. Ayah selalu memarahiku kala tuyul-tuyul kecil itu bertengkar. Kenapa aku yang harus dimarahi mai? Padahal aku tak pernah menyentuh mereka sedikit pun. Mai, dengarkan aku, aku ingin pulang. Aku tidak betah tinggal disini. Kata-kata ayah yang keluar dari mulutnya pun amat kasar. Tak sama denganmu. Apa mungkin karena ini amai dan ayah berpisah.

Satu tahun pun berlalu tanpa amai. Namun aku tak pernah bisa bertemu dengannya. Apa daya aku jauh di kota sedangkan amai jauh di desa. Setiap aku merindukan sosok yang lembut itu,ayah selalu tak punya uang untuk ongkos kesana. Aku pun paham hidup ayah sederhana saja. Lagian apakah kau masih mau menerima kedatanganku kesana mai? Padahal kau telah meninggalkan aku disini.

Aku tak pernah lagi bertemu dengan amai. Bahkan aku berusaha untuk melupakan amai yang begitu kejam menurutku. Meninggalkan anaknya dirumah yang bagaikan neraka kurasa saat ini. Yang melepaskan tanggungjawabnya sebagai ibu. Tidak pernah menanyakan kabar dan menengok keadaanku yang sekarang. Apakah aku sehat atau sakit. Amai tampaknya tak menghiraukan itu.

Siang ini saat aku berjalan pulang sekolah, tiba-tiba berhenti sebuah avanzaa silver berhenti tepat disampingku. Karena takut itu penculik anak aku langsung lari terbirit-birit. Namun orang yang ada dalam mobil itu meneriaki aku. Sekilas aku memutar kepala ke belakang dan terhenti. Aku mengenal sosok itu. Lelaki dengan badan yang tegap dan masih paruh baya. Dia adalah Pak Etek. Sepupu ibu di kampung. Aku masuk ke mobilnya dan menuju rumah ayah.

Dari kabar yang kudapatkan dari Pak Etek itu bahwa amai sedang sakit. Air mataku menetes. Kangen amai. Tapi ada rasa marah dan kecewa yang tertera dalam hatiku. Kenapa mereka menghimbaukan keadaan amai yang sedang sakit padaku? Sedangkan amai tak pernah menjengukku ketika sakit. Mungkin ini pepatah yang dikatakan bahwa kasih ibu sepanjang masa dan kasih anak sepanjang galah. Tak sadar bulir bening menetes dipipiku. Aku kangen amai.

Aku, ayah dan adik-adik tiriku menuju kampung halaman. Kulihat ayah hanya melamun dengan tatapan kosong ke depan. Tak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Minimal membicarakan tentang penyakit yang diderita amai. Aku tak sabar ingin bertemu amai, menatap wajah amai, memeluk amai seperti yang kulakukan dulu.

Dugh. Aku tak percaya. Kakiku disambut oleh bendera kuning yang dipajang di depan rumah. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dadaku sesak. aku tak berani memasuki rumah. Aku lari, lari yang jauh. Ku tak tau lari kemana. Aku menyendiri di sudut rumah tetangga. Melepaskan tangisan penyesalan. Hatiku tak menentu. Kacau. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak sanggup melihat amai terbujur kaku di dalam rumah. Kalau nanti amai tidak ada, jangan pernah tangisi kepergian amai, Nak. Apalagi sampai meratapi. Itu hanya akan memeberatkan perjalanan amai ke rumah Allah. Kalimat itu terngiang ditelingaku. Ibu megutarakan itu Ketika aku kelas satu sekolah dasar. Tapi mana mungkin aku tidak akan menangis? Aku kehilangan sosok yang sangat aku rindukan. Aku cintai dan aku sayangi. Dihari pertemuan yang aku tunggu-tunggu pun malah menemukan tubuh ibu yang terbujur kaku. Aku dan amai saat ini sama-sama kaku.

***

“Bu, selamat hari ibu, aku sayang ibu” ucapku pada ibu tiri suatu hari yang bertepatan dengan hari ibu tanggal 22 desember.

“ya, Nak. ibu juga sayang kamu”

Akuminta izin untuk takziah ke kuburan amai yang ada di kampung. Aku ingin membersihkan makam amai yang sudah lama tak dikunjungi. Meski dulu amai pernah meningalkanku disini namun aku takkan pernah meninggalkan makam amai. Aku akan selalu menapaki tempat itu untuk menengok nisan amai.

“Pergilah, nak. Hati-hati di jalan. Jangan pernah lagi mengatakan kalau ibumu meninggalkan kamu disini. Beliau tdak pernah meninggalkanmu disini. Toh, ini juga rumah ayahmu.” Celetuk mama

“iya ma, tapi..”

“Ingat, ibumu mengamanahkan kepada ayah untuk merawat dan menjagamu karena dia sudah tidak sanggup lagi merawatmu. Dia sudah sakit-sakitan. Untuk mencari makan dirinyavsendiri saja sudah susah. Dia sudah tidak bisa lagi bekerja setiap hari. Makanya dia menitipkanmu disini. Dia takut hidupmu akan susah bila bersamanya. Jika kamu tinggal dengan ayahmu kebutuhan kamu akan tercukupi. Satu lagi, dia selalu melihatmu kesini. Kamu ingat? Samba lado tanak pucuk ubi—gulai daun ubi pakai teri yang setengah kering--yang kamu makan setiap bulan itu adalah kiriman dari amamu. Dia datang melihat kondisi anaknya setiap bulan, meski dia dalam keadaan sakit.”

“cukup, Bu,”

“Dia tidak mau bertemu kamu karena takut kamu akan ikut dengannya pulang. Dia hanya bisa melihat putrid yang dicintainya dari jauh. Bahkan untuk memelukmu saja dia tidak bisa, Nak” mIbu mengurai air mata. Aku terhenyak tak bisa berkata-kata.

Ya allah, kenapa aku baru tau sekarang? Andaikan amai memberitahuku dari dulu, aku takkan pernah mau berpisah dengan amai. Aku akan selalu mendampingi amai. Susah senang kita hadapi bersama. Aku ingin disamping amai, merawat amai ketika sakit. Sama seperti beliau merawatku ketika sakit. Amai, aku mencintaimu. Maafkan aku yang sempatmembecimu. Aku sudah durhaka mengira kau tak menyayangi aku. Maafkan aku amai. Aku sangat menyangimu. Aku menyesal. Meski kini kau telah tiada, namun dirimu tetap ada dalam setiap do’a ku.

Aku sadar. Betapa pun menyakitkan apa yang dilakukan seorang ibu kepada pastiada alasan tertentu yang mengharuskannya melakukan itu.Aku menyesal tidak berada disamping amai. Ternayata aku yang meninggalkmu, bukan kamu yang meninggalkanku ibu.

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community, akun Fiksiana: http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline