Lihat ke Halaman Asli

iis kristia W

Call me Aisya

(Fiksi Kuliner) Apem Kenangan

Diperbarui: 20 November 2022   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Pribadi

Mendung yang sejak tadi menggantung di matanya akhirnya pecah juga. Tetesan air bening itu membasahi pipi keriput Nenek. Lagi-lagi aku gagal memenuhi ekspektasinya.


"Nek, kumohon ... Berapa kilo gram tepung lagi yang harus kuhabiskan?"


Nenek memilih beranjak dari kursi malas kesayangannya, masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Aku benar-benar diabaikan. Seharusnya Nenek bisa sedikit mengapresiasi usahaku, berapa banyak video tutorial dari YouTube yang aku ikuti, serta trial puluhan resep yang menguras tenaga, juga waktu yang terbuang sia-sia.  Meski Nenek tidak pernah menyuruh aku melakukannya.

Hal ini berawal dari perdebatan kami tempo hari, aku menginginkan kue modern saja yang menjadi snack di acara setahun peringatan meninggalnya Kakek. Karena aku lumayan mahir membuatnya. Tapi, kue apem. Oh, tidak! Bukan karena aku tidak bisa, jika hanya sekedar kue apem biasa mungkin aku tidak perlu merasa segagal ini sebagai seorang pemilik catering. Namun, Nenekku selalu bercerita tentang apem kenangan yang dinikmati bersama Kakek. Apem yang terasa legit seperti wingko babat, menul-menul tanpa ragi instan, dan membuat siapapun ketagihan. Sayangnya, Nenek tak pandai membuat kue. Apem itu didapatkan dari sebuah Pasar di Desa Bakaran. Sudah berpuluh tahun silam, sekarang pedagangnya sudah tidak berjualan, juga tidak ada generasi yang meneruskan.

Kumainkan gawaiku menghalau kesal, jariku bergulir di aplikasi hijau tanpa arah dan tujuan. Tiba-tiba aku teringat sahabatku, Fitri. Dia pernah menyebut neneknya sering dipanggil sebagai tukang kue di acara hajatan tetangga. Malam itu, kuhubungi Fitri untuk membuang kegalauan tingkat tinggi.


"Santai, Ra ... Jare Mbahku iso nggawe apem. Sampean kon moro, ndelok dewe prosese. Tapi, ono syarate ...."

(Santai, Ra ... Nenekku bilang bisa membuat apem. Kamu suruh datang melihat sendiri prosesnya. Tapi, ada syaratnya ....)


"Ojo medeni tho, Fit!" (Jangan nakutin donk, Fit!) Jujur, aku sedikit merinding.


"Sampean dikongkon nginep!" (Kamu disuruh menginap!) Gelak tawa Fitri terdengar renyah sekali.

Sore harinya, aku dan Fitri bergegas menuju ke alamat rumah Mbah Kati, neneknya Fitri. Mungkin ini yang dinamakan jodoh, Mbah Kati ternyata tinggal di Desa Bakaran juga. Kukendarai motor matic dengan membonceng Fitri yang sedari tadi ngoceh banyak hal. Sampai-sampai jarak tempuh 10 km dari desaku menuju desa Mbah Kati tidak terasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline