"Energi yang kita keluarkan sekarang, akan berbuah investasi yang akan terbayar nanti," ujar Amy.
Pilihan menjadi bagian dari kehidupan. Diri kita pada hari ini adalah konsekuensi pilihan kita di masa lalu, maka kita di masa depan adalah konsekuensi pilihan kita pada hari ini.
Banyak dari kita menganggap bahwa telah melakukan kesalahan dalam mengambil sebuah pilihan. Kita merasa bersalah dan terkadang ingin mengulang masa lalu untuk memperbaiki itu semua.
Contohnya seperti kita salah dalam memilih pemimpin, salah memilih pasangan, salah memilih jurusan, salah memilih baju, atau hal-hal lainnya, dari yang bersifat besar sampai ke hal-hal yang bersifat kecil.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kita terlalu berharap pilihan yang kita ambil adalah pilihan yang tepat, sehingga tidak menerima segala konsekuensi yang dihadapi setelahnya.
Amy Morin, psikoterapis dewasa dan anak dari Northeastern University menuturkan bahwa seseorang perlu mengenal adanya aturan dan konsekuensi untuk menjadi disiplin.
Prinsipnya "mereka akan mendapat konsekuensi jika tidak mengikuti aturan." Akan tetapi banyak orangtua hanya berhenti pada tahap membuat aturan, namun luput dalam menegakkannya.
Orangtua sering tidak menegakkan konsekuensi saat anak melanggar aturan yang penyebabnya beragam, bisa dikarenakan iba melihat anak tertekan, merasa terlalu keras pada anak kemarin, atau terlalu lelah menghadapi perilaku anak.
Orangtua terkadang merasa iba ketika melihat anak-anak mengalami hal sulit, seperti saat anak merasa lelah bersekolah. Akan tetapi merasa iba dengan alasan tersebut tidak menjadi solusi. Menurut Amy dengan memberikan konsekuensi artinya kita telah menjaganya supaya tetap merasa aman dengan menetapkan batas.
Kesalahan orangtua lainnya karena merasa terlalu keras pada anak, contohnya saat sudah masuk jam makan atau belajar, tetapi masih asik bermain game di gadget, terlebih saat pandemi, anak-anak lebih banyak bermain gadget daripada dengan lingkungan sekitarnya.