Ketidakadilan Gender kerap dialami perempuan tak terkecuali dengan profesi pelukis di Indonesia. Perempuan pelukis tidak dapat dipungkiri keberadaananya ada ditengah-tengah kita, namun kerap kali profesi tersebut dipandang sebelah mata oleh sebagaian orang. Bahkan pelabelan negatif (stereotipe ) kerap diterima. Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, emosional, cengeng, tidak tahan banting kerap kali terdengar.
“Ora usah ngoyo jadi perempuan.” (jangan memaksakan diri jadi perempuan)
“Koe iki wong wedok.” (kamu ini perempuan)
Kata-kata tersebut kerap kali terdengar ditelinga Widya hingga saat ini. Widya pun tak patah semangat untuk terus mengembangkan hobinya meskipun pada awalnya sempat kesal mendengar perkataan tersebut. Saya semakin penasaran dengan kehidupan pelukis. Saya pun menanyakan bagaimana suka duka menjadi pelukis? ia pun menjawab dengan penuh haru.
“Bergerak di pipa seni rupa tidaklah mudah, butuh ketelatenan, merayapi satu demi satu setiap proses, mempertahankan laku istiqomah, namun asiknya itu menikmati setiap jejak langkah. Bagi saya jika kita tertarik terhadap sesuatu, dan benar-benar sangat tertarik, maka kita akan dengan rela hati bersusah payah, bekerja keras, dan memberikan sepenuh jiwa di dalamnya. Maka kenapa mau jadi pelukis? Karena saya tau bahwa didalam kepuasan sebuah karya yang tercipta dan terapresiasi oleh seseorang terselip banyak hal di dalamnya. Saya mau dengan rela hati terjebur di dalamnya.”
Dari pernyataan tersebut istiqomah menjadi kunci utama dan menikmati setiap prosesnya adalah kebahagiaan, walau terkadang ada saja yang tidak mengapresiasi karyanya. Hal tersebut menjadikannya tangguh dan dapat menunjukkan eksistensinya sebagai pelukis. Widya yang memiliki nama lengkap Widya Prana Rini merupakan salah satu pelukis di Indonesia yang tetap mengedepankan pendidikan. Ia menempuh kuliah S1 pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Ia pun pernah menggelar pameran seni lukis di almamaternya (UAD). Tidak lama setelah itu, ia melanjutkan S2 pada Program Studi Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada. Baginya pendidikan tetaplah nomor satu. Setelah lulus pascasarjana ia menekuni dunia seni lukis, baginya ilmu yang ia peroleh semasa kuliah tidaklah sia-sia. Perempuan perlu memiliki pendidikan yang tinggi, pandangan yang luas dan pandai bersosialisasi. Lukisan pun tidak sekedar coretan namun juga ada makna kehidupan yang tersirat di dalamnya.
Kerap kali karyanya terpajang dalam berbagai pameran seni lukis. Belum lama ini ia ikut serta dalam "Pameran Seni Lukis Karya Wanita Pelukis Indonesia" yang diselenggarakan pada hari sabtu 10 April 2021 di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Jawa tengah. Serta ia pun ikut serta pada pameran kaligrafi Mukjizat pada hari Senin 12 April 2021 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tentu prestasi yang ia raih merupakan buah dari perjuangan yang cukup panjang. Ia berjuang menekuni dunia seni lukis sejak duduk di bangku SD.
Guru lukis pertama Widya adalah almarhum ayahnya. Bermula ketika Widya mendapat tugas sekolah ia kerap meminta ayahnya mengerjakan tugas melukis. Melihat gambar yang dibuatkan bagus, ia pun akhirnya tertarik untuk belajar melukis. Kemudian ia pun menyambangi pelukis lokal untuk mendalamai seni lukis. Ia berguru kepada Bapak Tardi, Widodo meskipun kini telah tiada namun ilmu beliau terus mengalir dalam karya lukis Widya.
Kawah candradimuka bagi Widya tidak hanya di Yogyakarta, semua tempat yang ia sambangi merupakan tempat untuk belajar. Banyaknya gallery, ruang diskusi, literature, memberikan nutrisi lain didalam proses kreatif. Pada masa itulah ia belajar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sembari belajar pada komunitas seni rupa Perahu Art Conection. Ia mulai memahami kehidupan pelukis yang bergerak di Galery, Residensi, Silaturahmi antar seniman. Ia pun belajar bagaimana berelasi baik dengan sesama pelukis, kolektor, juga kurator. Ia juga belajar dengan pelukis jalanan di Sagan. Hingga kini Widya terus mendalamai seni lukis karena baginya ini adalah cara terbaik berpartisipasi sebagai perempuan Indonesia mengisi kemerdekaan.
Iis Suwartini, M.Pd. PBSI Universitas Ahmad Dahlan