Aku.
Dulu meminta agar debar itu disegerakan sirna. Tapi Tuhan memperlakukanku seolah tidak pernah mendengar pinta itu. Ia membiarkan debar itu semakin penuh pada ruang yang tidak begitu luas. Mempersilahkan aku untuk jatuh cinta sejatuh yang aku bisa. Membiarkan aku bergembira pada kabar dan halu yang aku buat. Hilang kendali, dibuat senang oleh prasangkaku sendiri.
Kamu.
Pernah katakan jantung semakin berdebar lebih cepat dan nafas memburu lebih hebat ketika kita berbicara tentang rasa. Berusaha menyimpan dalam segala yang berhubungan tentang cinta, karena sungguh tahu konsekuensi yang akan dihadapi nantinya. Tapi tak semudah itu memendamnya. Kau memilih tetap menerima dan membalas setiap tawaran cinta, karena kau pun merasakan hal yang sama.
Kita.
Memutuskan tetap melangkah bersama, menikmati gejolak, harap dan keindahan yang bernama cinta. Tetap menuruti kehendak hati yang membutuhkan pelengkap raga. Karena perasaan cinta adalah anugerah yang dititip kepada setiap jiwa. Sayangnya mendung tak lekas hilang dari jalan kita, terutama kamu yang ternyata tak begitu siap dengan konsekuensi pilihan langkah yang telah separuh dilewati. Kamu memilih melangkah dengan air mata yang tak mampu ku lihat di wajahnya. Pergi tanpa meninggalkan sedikit bahasa. Bahkan menhadirkan neraka di ujungnya.
Jakarta, 20 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H